Yogyakarta (ANTARA) - Dekan Fakultas Kehutanan se-Indonesia yang tergabung dalam Forum Pimpinan Lembaga Pendidikan Tinggi Kehutanan (FOReTIKA) meminta pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan ditunda karena dinilai mengancam kelestarian ekosistem hutan.

"FOReTIKA mengusulkan penundaan pengesahan RUU Pertanahan dan melanjutkan pembahasannya hingga periode DPR RI berikutnya," kata Ketua FOReTIKA Rinekso Soekmadi saat jumpa pers di Halaman Balairung, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Jumat.

Menurut Rinekso, RUU Pertanahan yang dalam pembahasannya saat ini telah masuk dalam Panitia Kerja DPR RI masih memerlukan kajian intensif karena belum secara eksplisit memuat tentang keberlanjutan ekologi dan konservasi hutan.

Baca juga: Belum ada titik temu pembahasan RUU Pertanahan

Melalui RUU itu, menurut dia, kewenangan pengelolaan kawasan hutan memungkinkan dialihkan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kepada pihak lain yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN).

Apabila, pihak lain yang akan mengelola kawasan hutan itu tidak memiliki perhatian besar terhadap keberlanjutan pelestarian hutan, maka alih fungsi hutan dikhawatirkan semakin mudah.

Selama ini KLHK memberlakukan prosedur yang tidak mudah untuk mengalihfungsikan kawasan hutan menjadi peruntukan lain.

"Ketika kehutanan punya tanah, yang ngatur BPN sebenarnya logis. Hanya saja rambu-rambu untuk memastikan ketika nanti beralih kewenangannya ke lembaga lain dipastikan tidak memudahkan mengalihfungsikan kawasan hutan," kata dia.

Baca juga: REI harapkan pengesahan RUU Pertanahan

Selain itu, RUU Pertanahan juga dirasa belum mengedepankan asas keterbukaan informasi publik. Apalagi, para akademisi bidang kehutanan belum dilibatkan dalam pembahasan RUU tersebut.

"Nampaknya pembahasan RUU ini belum melibatkan akademisi bidang kehutanan. Ini yang kami sangat terkaget-kaget. Ini kok tiba-tiba muncul sementara kami belum diajak bicara," kata Rinekso yang juga Dekan Fakultas Kehutanan IPB.

Meski demikian, FOReTIKA mengapresiasi upaya penyempurnaan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dituangkan dalam RUU Pertanahan.

Baca juga: Komisi II DPR fokus selesaikan RUU Pertanahan

"Penyempurnaan itu diharapkan dapat menjadi solusi terhadap persoalan pertanahan di Indonesia dan mendorong kinerja pembangunan sektor kehutanan yang pada faktanya masih belum memenuhi asas keadilan dan kemakmuran, serta belum secara maksimal memperhatikan aspek kelestarian sumber daya alam dan lingkungan," kata dia.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal FOReTIKA Didik Harjito mengatakan RUU tersebut berpotensi mengancam kelestarian hutan apabila pengelolaannya lebih menonjolkan aspek politik dan ekonomi semata.

Baca juga: Presiden tugaskan Menko Perekonomian dalami RUU Pertanahan

Menurut Didik, saat ini dua per tiga dari kawasan hutan yang memiliki luas total 120 juta hektare dalam kondisi kritis atau kurang produktif.

"Belum lagi ada penggunaan kawasan hutan oleh sektor lain secara ilegal. Ini keterlanjuran sehingga harus diatur," kata dia.