Makassar (ANTARA News) - Sekitar 80 persen dari populasi perokok di Indonesia pada tahun 2007 ternyata berusia di bawah 19 tahun. "Sesuai data Indonesia Tobacco Control Network (ITCN), proporsi perokok pemula remaja tersebut terus meningkat yang diikuti kelompok umur 5-9 tahun yang persentasenya naik dari 0,4 persen pada tahun 2001 menjadi 1,8 persen tahun 2004," kata Prof Dr Veni Hadju, PhD, Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Hasanuddin, Makassar, Senin. Ia mengemukakan informasi tersebut saat tampil sebagai pembicara pada pertemuan evaluasi "Leadership dan Management for Tobacco Control" yang diselenggarakan oleh Jaringan Pengendalian Dampak Tembakau Indonesia di Hotel Sahid, Makassar. Menurut dia, kondisi tersebut sangat memprihatinkan karena remaja menjadi sasaran utama calon konsumen jangka panjang. Sementara generasi yang sudah terjerat atau ketagihan nikotin akan sulit sekali berhenti merokok. Padahal rokok mengandung 4.000 bahan kimia berbahaya yang dapat merusak tubuh sekaligus menguras kantong, katanya. Fenomena mengejutkan lainnya adalah prevalensi merokok masyarakat miskin lebih tinggi dari masyarakat kaya. Dari survei ITCN diketahui, dengan sumber daya rumah tangga yang terbatas, belanja rokok masyarakat termiskin adalah 11 persen dari pengeluaran bulanannya, sementara yang terkaya hanya 9,7 persen dari total pengeluaran bulanannya. Sementara itu, perlindungan masyarakat dari dampak tembakau menempati prioritas rendah dalam program kesehatan masyarakat karena kentalnya kepentingan politis dengan dalih ekonomi. "Belum adanya Undang-Undang pengendalian tembakau ini kemudian dimanfaatkan secara maksimal oleh industri tembakau untuk memperluas pasar penjualan zat adiktif. Bahkan ironisnya, mereka diposisikan sebagai penyelamat bangsa dari kemiskinan dan kebodohan," kata Veni. Tak ayal lagi, paparnya, industri rokok mendapat kebebasan mutlak mengiklankan produknya dengan segala cara dan menggunakan semua jalur. Tak heran pula, jika tarif cukai di Indonesia adalah yang terendah di Asia setelah Cambodia. Akibatnya, anak-anak, remaja dan masyarakat miskin dengan mudah membeli rokok yang terjangkau dan dapat pula diperoleh dengan membeli batangan sementara peringatan bahaya rokok bagi kesehatan yang tercantum di kemasan rokok hanya dijadikan hiasan. Terkait dengan fenomena itu dan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap kesehatan masyarakat, Veni mendorong organisasi-organisasi masyarakat yang peduli masalah tembakau untuk melakukan penyelamatan generasi. "Tantangan ini memang berat karena tidak mungkin dilakukan sendiri-sendiri, melainkan dibutuhkan kekuatan yang tangguh melalui jaringan kerja non struktural, guna terus menabuh genderang gerakan moral untuk mengendalikan dampak tembakau," ujarnya. (*)