Banda Aceh (ANTARA) - Jika syarat terpenuhi dan tidak ada kendala, maka masyarakat di Gampong (Desa) Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur, bakal mendapat surat keputusan hak pengelolaan hutan desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Dengan surat keputusan tersebut, masyarakat di pedalaman Aceh itu memiliki akses legal dalam mengelola kawasan hutan secara mandiri. Masyarakat tidak mau lagi kucing-kucingan dengan petugas, ketika memanfaatkan sumber daya alam di sekitar tempat tinggal mereka.

Raut wajah seorang pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Nani Junaeni tampak haru ketika menerima sambutan hangat saat meninjau langsung ke Gampong Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur, Kamis (20/6).

Di desa ini, Nani disambut dua wanita paruh baya, kemudian dipayungi, dipakaikan kain bermotif kerawang gayo, dan ditepungtawari oleh pemangku adat gampong setempat.

Rombongan KLHK disuguhi saman, suatu tarian yang ditetapkan sebagai warisan dunia oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membidangi kebudayaan dengan dimainkan sejumlah anak muda.

Nani Junaeni merupakan verifikator hutan desa. Wanita paruh baya ini datang dari Banda Aceh ke Gampong Bunin dengan didampingi dua verifikator, dan perwakilan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.

Perjalanan ke desa yang berada di pelosok Aceh Timur itu, membutuhkan waktu belasan jam dari Banda Aceh. Ruas jalan yang dilalui hingga masuk ke Gampong Bunin via Peureulak tak begitu mulus. Lubang jalan selalu ditemui di hampir sepanjang jalan yang dilewati.

"Terima kasih sudah datang. Ini penyambutan adat yang sering kami lakukan. Proses Adat Gayo ini untuk memuliakan tamu," ungkap Keuchik (kepala desa) Bunin, Mustakirun seraya menyilakan tamunya dan rombongan masuk rumah semipermanen untuk menjamu dengan makan siang.

Mustakirun bersama masyarakatnya sangat berharap kedatangan tim verifikasi tersebut, bisa memberi secercah harapan terhadap hutan desa yang mereka usulkan untuk dikelola secara mandiri.

Masyarakat Gampong Bunin telah mengusulkan sekitar 2.780 hektare luas hutan desa yang dibagi menjadi dua kawasan, yakni hutan lindung seluas 1.189 hektare dan hutan produksi dengan seluas 1.591 hektare.

"Hutan lindung ini untuk memproteksi agar sumber daya alam di dalamnya tidak rusak. Hutan lindung untuk melestarikan flora, dan fauna di dalamnya. Termasuk menjaga sumber mata air, yang menjadi sumber penghidupan kami," tutur Keuchik.

Hutan produksi digunakan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat karena terdapat berbagai macam jenis tumbuhan, seperti jernang, jengkol, petai, dan lain-lain yang menjadi sumber ekonomi lebih dari 1.000 kepala keluarga.

"Kami bertekad mengelola hutan desa ini dengan baik, sehingga bisa kami wariskan kepada generasi mendatang. Hutan desa itu menjadi proteksi bagi kami terhadap pembalakan kayu ilegal yang marak dilakukan orang dari luar Gampong Bunin," katanya.

Selama ini, menurut Keuchik, masyarakat kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum, ketika memanfaatkan sumber daya hutan ini. Sebab, akses hutan dianggap ilegal, sehingga masyarakat takut dituduh sebagai perusak hutan.

Dengan adanya hak pengelolaan hutan desa, maka ada legalitas untuk mengelolanya. "Kami tentu tidak ingin merusak sumber daya kehidupan kami. Kami akan menjaga hutan desa tersebut demi keberlanjutan hidup kami," kata Mustakirun.

Masyarakat Gampong Bunin sudah selayaknya mendapat hak pengelolaan hutan desa. Itu diakui oleh Nani Junaeni setelah memverifikasi usulan hutan desa di Gampong Bunin. Namun, masih ada kendala nonteknis yang harus diselesaikan masyarakat.

Begitu juga dengan usulan luasnya, terjadi perubahan dari 2.780 hektare menjadi 2.689 hektare. Perubahan luas, karena daerah aliran sungai yang sebelumnya masuk dalam usulan harus dikeluarkan.

"Setelah kendala tersebut diselesaikan, maka kami akan membuat berita acara verifikasi. Selanjutnya menjadi pedoman keluarnya surat keputusan hak pengelolaan hutan desa," sebut dia.

Izin pengelolaan hutan desa berlaku selama 35 tahun, dan evaluasi terhadap izin tersebut dilakukan setiap lima tahun sekali. Izin bisa dicabut, jika pengelolaan hutan tidak sesuai dengan usulan semula.

"Gampong Bunin bukan desa yang pertama di Aceh mengusulkan hak pengelolaan hutan desa. Sudah banyak desa di Aceh mendapat hak pengelolaan hutan desa, seperti di Aceh Utara, Gayo Lues, Bener Meriah, dan di kabupaten lainnya," ungkap Nani Junaeni.

Usulan hutan desa di Gampong Bunin muncul setelah Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memberi pendampingan terhadap masyarakat setempat.

Pendampingan tidak hanya mengajarkan masyarakat mengelola hutan, tetapi juga membuat reusam atau aturan adat gampong yang mengatur pengelolaan hutan desa.

"Setelah adanya peraturan desa, barulah diusulkan hutan desa. Dan ini, sudah kami lakukan terhadap masyarakat Gampong Bunin," kata Program Manajer Selamatkan Hutan dan Tata Kelola Yayasan HAkA, Crisna Akbar.

Ia menerangkan pendampingan diawali dengan diskusi dengan masyarakat Gampong Bunin, dan dari diskusi tersebut lahir kesepakatan membentuk lembaga yang nantinya mengelola hutan desa.

Setelah kelembagaan terbentuk, masyarakat kemudian didorong untuk membuat peraturan desa. Peraturan tersebut menjadi dasar usulan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.

"Setelah usulan disampaikan dan dinyatakan memenuhi syarat, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan mengirimkan tim verifikasi melihat kawasan hutan yang diusulkan menjadi hutan desa," kata Crisna Akbar.

Yayasan HAkA melalui Program Setapak dewasa ini telah memberikan pelatihan menanam tanaman kehutanan dan kehidupan yang nantinya akan ditanami di hutan desa.

Kegiatan ini bertujuan, setelah surat keputusan hak pengelolaan hutan desa dikeluarkan oleh KLHK, maka masyarakat bisa langsung beraksi.

"Kami yang akan mengawal hutan desa masyarakat ini agar keberadaannya benar-benar bisa meningkatkan perekonomian masyarakat. Itulah tujuan hutan desa, selain proteksi dan pelestarian," tutur Crisna Akbar.*

Baca juga: HAKA dampingi masyarakat dapatkan hak pengelolaan hutan desa

Baca juga: Usulan hutan desa di pedalaman Aceh Timur diverifikasi KLHK