Palu (ANTARA) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Perwakilan Sulawesi Tengah menilai rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang disusun oleh Pemprov Sulteng terkesan lebih mengutamakan kepentingan investor daripada memperluas lahan untuk pembangunan ketahanan pangan masyarakat di daerah tersebut.
"Masih banyak kelemahan yang sangat urgen dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulteng. Hal yang paling penting menjadi sorotan adalah soal ketahanan pangan," ucap Manajer Kampanye Walhi Sulteng Stevandi di Palu, Jumat.
Walhi Sulteng menemukan dalam dokumen Ranperda RTRW Sulawesi Tengah bahwa ketersediaan lahan untuk pertanian dan untuk cadangan pangan di provinsi ini hanya 12 persen dengan luas 777.634 hektare area.
Jika dipersentasekan, akan ditemukan 2 persen wilayah pertanian yang eksisting, 4 persen lahan cadangan pangan, dan 6 persen kawasan pangan berkelanjutan. Kecilnya luasan lahan pangan di Sulawesi Tengah, tidak berbanding lurus dengan luasan perkebunan sawit serta pertambangan yang telah menguasai 44 persen wilayah Sulteng.
Baca juga: Walhi berharap cagub Sulteng berkomitmen lestarikan lingkungan
Dalam Walhi Sulteng, konsesi pertambangan telah menguasai 2.210.036 hektare area dan perkebunan sawit seluas 591,606. 72 hektare area.
Dengan begitu, kata Stevandi, sangat kontras dengan luasan untuk ketersedian pangan.
Oleh karena itu, dia menilai Ranperda RTRW Sulawesi Tengah tidak meletakkan kedaulatan pangan sebagai hal yang prioritas.
Padahal, lanjut dia, pangan merupakan faktor penting dalam menentukan stabilitas ekonomi suatu daerah, dalam pemenuhan pangan bagi masyarakatnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam pembangunan di Sulawesi Tengah.
Stevandi menyebutkan pangan secara rill bisa diperoleh dari tiga aspek penting, yakni ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan. Konsep ketersediaan pangan di Sulteng merupakan hal yang penting untuk melihat dan menalaah bagaimana ketahanan pangan di provinsi ini.
Tidak diletakannya kepentingan pangan sebagai landasan pembagunan, menurut Walhi, berbanding lurus dengan makin meningkatnya konflik agraria di Sulteng yang melibatkan petani dan korporasi berbasis lahan.
Data WALHI Sulteng periode 2018-2019, terdapat lima sampai 10 konflik agraria yang melibatkan masyarakat setempat dengan korporasi, baik tambang maupun perkebunan sawit.
Menurut dia, harusya ranperda yang sedang disusun saat ini merupakan kesempatan bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki kekeliruan Perda RTRW yang sebelumnya.
"Jangan lagi Perda RTRW ini menambah panjang dosa kepada masyarakat," ujarnya.
Baca juga: Walhi : Banjir Morowali Utara disebabkan masifnya perambahan hutan
Pemerintah, katanya lagi, harus lebih teliti lagi dengan pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah, bagaimana penguasaan lahan bagi korporasi di Sulteng telah berkontrbusi terhadap berbagai persoalan, seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara.
Akibat masifnya ekspansi korporasi, deforestasi hutan, lanjut dia, telah menyisahkan kerusakan ekologi yang membawa petaka banjir bagi masyarakat.
Walhi meminta pemerintah serius dalam menyusun Perda RTRW sebab ini berbicara hajat hidup orang banyak, atau tidak lagi memberikan ruang bagi penguasaan lahan terhadap korporasi, cabut izin perusahaan-perusahan yang bermasalah atau berada dalam kawasan hutan.
"Yang terpenting RTRW ini harus lebih berpihak pada masyarakat Sulawesi Tengah bukan korporasi. "Kami tak ingin ada lagi nyawa rakyat yang menjadi korban akibat kebobrokan penyusunan RTRW yang tidak tegas terhadap pelaku kejahatan lingkungan di provinsi ini," katanya.
Walhi: Rencana RTRW berpihak pada investor ketimbang pangan rakyat
12 Juli 2019 13:19 WIB
Masyarakat membangun tenda di lahan milik mereka yang dikuasai secara paksa oleh salah satu perusahaan di Sulteng. (Foto: Muhammad Hajiji)
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: