Mukhlis di Banjarbaru, Rabu (10/7), mengatakan bahwa pupuk ini mengandung mikroba dekomposer Trichoderma Sp khas rawa, bahkan pupuk dari bahan alami ini terbukti meningkatkan hasil padi di lahan rawa sampai 20 persen, serta dapat meningkatkan efisiensi pemupukan nitrogen dan posfor sampai 30 persen.
Menurut Mukhlis, strategi yang penting di lahan rawa ialah memberi bahan organik sebagai pembenah tanah.
Bahan organik menjadi penyangga biologi yang berperan memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah sehingga tanah dapat menyediakan hara dalam jumlah berimbang.
Agar tujuan itu tercapai, bahan organik yang diberikan harus sudah terdekomposisi atau memiliki C/N rasio rendah.
Baca juga: Kementan: Musim kemarau saatnya optimalisasi lahan rawa
"Bahan organik segar yang langsung diberikan ke dalam tanah dapat merugikan pertumbuhan tanaman karena terjadi proses immobilisasi nitrogen dan terlepasnya senyawa beracun yang mengganggu tanaman," jelasnya.
Mukhlis mengatakan bahwa petani di lahan rawa umumnya menggunakan jerami atau sisa tanaman gulma sebagai bahan organik. Namun, sayangnya bahan tersebut mengandung selulosa yang tinggi dengan C/N ratio yang tinggi.
Oleh karena itu, mereka membutuhkan proses dekomposisi yang lama. Selama ini, petani menggunakan jerami sebagai pupuk organik dengan dua cara. Pertama, secara langsung, yaitu saat panen jerami langsung disebar ke petakan sawah, lalu air dimasukkan hingga tergenang. Jerami mengalami dekomposisi di lahan.
Kedua, cara tak langsung. Jerami dikomposkan dulu lalu disebar ke lahan. Pemanfaatan langsung sangat menguntungkan untuk menghemat biaya dan tenaga kerja, tapi jerami baru terdekomposisi lebih satu bulan.
"Di sinilah Biotara berperan. Setelah jerami disebar ke petakan, Biotara disebar sehingga perombakan lebih cepat. Biotara juga tetap efektif di lahan rawa yang masam dan tergenang karena diseleksi dari mikroba unggul di lahan rawa," papar alumnus S-3 Bidang Keahlian Mikrobiologi Tanah di Universiti Putra Malaysia ini.
Petani juga dapat memetik keuntungan lain karena Trichoderma dalam Biotara berperan sebagai pengendali penyakit tular tanah (soil borne disease).
Biotara juga diperkaya mikroba pelarut-P Bacillus sp, dan penambat N Azospirillium sp yang hidup di lahan rawa. Maka, seperti pupuk hayati lain Biotara dapat meningkatkan kesuburan tanah, menghemat pupuk, meningkatkan hasil, dan mengurangi pencemaran lingkungan.
"Jadi, dengan teknologi pupuk hayati Biotara, bukan mustahil menyulap lahan rawa menjadi lahan padi produktif dengan hasil 6 s.d. 7 ton per hektare," kata Ketua Kelompok Peneliti Pemulihan dan Mikrobiologi Lahan Rawa pada Balittra ini.
Hasil temuan Mukhlis yang merupakan putra daerah Kalimantan Selatan kelahiran Angkinang, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, 16 September 1960, ini pun telah dipatenkan dan dikerjasamakan dengan PT Pupuk Kaltim untuk produksi massalnya seharga jual Rp11 ribu per kilogram.
Alhasil, Mukhlis kini sebagai penerima royalti dari invensi pupuk hayati Biotara dari perusahaan BUMN yang jadi produsen pupuk urea terbesar di Indonesia itu.
Pada tahun lalu, sebanyak 90 ton terjual. Pada tahun ini diprediksi bisa lebih seiring dengan ada Program Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani (Serasi).
"Tentunya Biotara dapat menekan penggunaan pupuk kimia yang pengunaannya dapat merusak tanah. Ini tentu jadi sosialisasi yang bagus kepada petani agar beralih ke pupuk hayati yang aman untuk tanah dan kelanjutan usaha tani dalam jangka panjang," kata pria yang meraih gelar sarjana proteksi tanaman di Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (ULM) pada tahun 1983.
Sementara itu, Rahmat (petani rawa pasang surut di Kabupaten Barito Kuala) mengakui dengan menggunakan Biotara memperoleh hasil 6,8 ton GKG/ha dibandingkan sebelumnya hanya memperoleh rata-rata 5 s.d. 6 ton GKG/ha. Keuntungan lain, dia dapat menghemat penggunaan pupuk kimia, hanya 2/3 dari dosis rekomendasi.
Baca juga: Mentan sebut lahan rawa jadi tumpuan produksi pangan masa depan
Mukhlis juga temukan Biosure
Pengembangan lahan rawa baik rawa pasang surut maupun lebak memang menghadapi berbagai kendala, sehingga masih belum mencapai hasil yang optimal.
Masalah yang dominan adalah terdapatnya lahan sulfat masam yang luasnya mencapai 6,71 juta hektar. Lahan sulfat masam adalah lahan yang tanahnya mengandung senyawa pirit (FeS2).
Pada kondisi tergenang, senyawa tersebut bersifat stabil, namun bila teroksidasi maka akan memunculkan masalah, seperti ketersediaan hara pada aras yang kahat dan kelarutan unsur yang meracun seperti Al dan Fe dalam keadan melimpah.
Permasalahan yang timbul akibat proses pemasaman adalah apabila senyawa atau unsur yang beracun tidak terbuang dari lingkungan perakaran, maka pertumbuhan tanaman terhambat, lahan kemudian menjadi lahan tidur, baik lahan bongkor maupun lahan tidur mati suri.
Pengalaman menunjukkan bahwa pembukaan lahan sulfat masam selalu dibarengi dengan pembuatan saluran air untuk kepentingan transportasi dan drainase atau irigasi pada kawasan tersebut.
Namun pada kenyataannya, pengelolaan air tidak dapat terkendali dengan baik. Karena permukaan air tanah turun di bawah permukaan lapisan pirit terutama pada musim kemarau. Akibatnya senyawa pirit teroksidasi yang menghasilkan asam sulfat yang membuat pH tanah menjadi sangat rendah.
Kemasaman yang tinggi tersebut berdampak negatif terhadap sifat kimia dan aktivitas mikroba tanah. Penanganan masalah kemasaman tanah di lahan rawa sampai saat ini masih mengandalkan pengapuran. Namun, cara ini membutuhkan sejumlah besar bahan kapur dengan biaya yang cukup mahal.
Mukhlis yang mencoba mencari solusi dari permasalahan ini berhasil menemukan pupuk hayati yang diberi nama Biosure. Produk ini diformulasi dari konsorsia Bakteri Pereduksi Sulfat (Desulfovibrio sp) dapat berperan dalam proses reduksi sulfat sehingga mengurangi kemasaman tanah serta meningkatkan produktivitas tanaman padi.
Keunggulan pupuk hayati ini mampu mengefisienkan dosis kapur sampai 80 persen dengan efek yang sama dan meningkatkan hasil padi sampai 20 persen, kata Mukhlis yang menerima penghargaan sebagai peneliti berprestasi dari Kepala Badan Litbang Pertanian 2019.
Balittra pada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian Republik Indonesia yang berkantor pusat di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, telah menciptakan beragam teknologi tepat guna dan produk inovasi bagi petani khususnya di lahan rawa.
Dikomando Hendri Sosiawan sebagai kepala balai dan para peneliti di jajaran Balittra pun terus mendorong petani bisa mengoptimalisasi lahan rawa sehingga dapat melakukan tanam dua hingga tiga kali dalam satu tahun.