Pengamat Energi: Tak Perlu Kebijakan Insentif Tarif Listrik
27 Februari 2008 15:58 WIB
Yogyakarta (ANTARA News) - Pemerintah tidak perlu memberlakukan kebijakan insentif dan disinsentif tarif listrik, karena yang perlu dilakukan adalah menata ulang struktur tarif listrik dan memetakan pelanggaran penggunaan listrik sesuai ketentuan.
"Struktur tarif listrik yang perlu ditata kembali seperti untuk rumah tangga maupun industri, dan untuk rumah tangga dipecah lagi menjadi rumah tangga miskin dan rumah tangga mampu," kata pengamat energi listrik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Dr Tumiran, Rabu.
Menurut dia, kebijakan pemerintah memberi insentif bagi pelanggan yang penggunaan listriknya di bawah batas maksimal, dan memberlakukan disinsentif kepada mereka yang melebihi batas tersebut tidak akan efektif, karena hampir semua pelanggan listrik akan berlebihan dalam menggunakan listrik.
Ia menyebutkan dari data 2006, khusus untuk pemakaian listrik kalangan rumah tangga rata-rata 100 kwh per rumah tangga. "Kalau dirata-rata, pelanggan rumah tangga kategorinya R-1 hingga R-3," katanya.
Dari data tersebut, subsidi pemerintah untuk pelanggan kategori R-1 dengan 450 kwh sebesar Rp8,5 triliun, R-1 dengan 900 kwh Rp4,3 triliun, R-3 dengan 1.300 kwh Rp1,4 triliun, R-2 dengan 2.200 kwh Rp963 miliar, R-3 dengan 2.500 kwh Rp282 miliar, dan R-3 dengan 3.000 kwh subsidinya Rp226 miliar.
Kata dia, pada 2007-2008 biaya produksi listrik meningkat cukup tinggi, sementara tarif listrik belum disesuaikan sehingga subsidi pemerintah semakin membengkak.
"Jika mencermati masalah ini, tidak perlu ada kebijakan insentif dan disinsentif tarif listrik, tetapi pemerintah perlu mengubah struktur tarif listrik, di mana untuk keluarga mampu tidak perlu disubsidi, dan subsidi hanya untuk keluarga tidak mampu," katanya.
Tumiran mengatakan PT PLN harus transparan dengan melakukan audit secara benar terhadap pembangkit listrik, khususnya mengenai kemampuan produksinya dan sistem pembangkitnya.
Melalui cara tersebut, kata dia, pemerintah akan benar-benar mengetahui berapa sebenarnya kebutuhan PT PLN guna menentukan besaran subsidi.
Ia menilai manajemen listrik PT PLN saat ini belum begitu baik, terutama dalam hal antisipasi terhadap kesulitan yang ada, seperti yang belum lama ini terjadi yaitu kesulitan transportasi batubara.
"Ini sebenarnya dapat ditangani oleh PLN sehingga tidak ada alasan kesulitan transportasi batubara, yang menjadikan seolah-olah pemerintah tidak mampu mengurusi listrik," katanya.
Kata dia, masyarakat harus sadar terutama dalam membantu upaya penghematan listrik.
Selain itu, pemerintah bisa memberikan subsidi listrik bagi industri yang menerapkan padat karya serta mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak. "Ini artinya membantu pemerintah dalam memberikan subsidi," katanya.
Menurut Tumiran, peran pemda dalam masalah listrik juga harus ditingkatkan, karena selama ini pemda juga memungut pajak penerangan jalan umum (PJU) sebesar 6-8 persen dari pelanggan listrik.
"Pajak ini menjadi tambahan pemasukan bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan semestinya dikembalikan kepada masyarakat yakni berupa pemasangan lampu penerangan jalan, sehingga masyarakat tidak perlu memasang lampu penerangan jalan secara ilegal," katanya.
Pemerintah akan mulai memberlakukan kebijakan insentif dan disinsentif tarif listrik pada rekening bulan Maret yang ditagihkan April 2008.
Bagi pelanggan listrik yang hanya menggunakan 80 persen dari batas maksimal akan diberi diskon tarif, tetapi sebaliknya jika penggunaannya lebih dari 100 persen dari batas maksimal, dikenai tarif di atas standar.
Dengan mekanisme tarif insentif dan disinsentif ini diharapkan konsumen akan berhemat dalam penggunaan listrik jika tidak ingin membayar lebih mahal.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008
Tags: