Amnesty International soal polisi dan pengamanan kericuhan Mei
9 Juli 2019 18:19 WIB
Dokumentasi polisi menembakkan gas air mata untuk memecah konsentrasi massa Aksi 22 Mei saat terjadi bentrokan di depan gedung Bawaslu, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (22/5/2019). (ANTARA FOTO/Indrianto Suwarso).
Jakarta (ANTARA) - Amnesty International Indonesia menyebut polisi mengakui memang ada tindakan kekerasan secara eksesif (melampaui kebiasaan) oleh oknum polisi saat proses pengamanan massa yang cenderung anarkis dalam kericuhan pada 21-22 Mei 2019 di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu, Jakarta Pusat.
"Saya kira dalam pertemuan tadi, Pak Kapolda Metro Jaya juga sudah mengakui bahwa ada kekerasan eksesif yang dilakukan oknum ketika mengamankan orang-orang yang terlibat di dalam kerusuhan," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa.
Ia tidak menutup mata bahwa dari penelitiannya pada 28 rekaman video yang menunjukkan berbagai insiden kekerasan oleh massa, di antaranya merusak kendaraan polisi, menyerang asrama polisi atau menyandera mobil pemadam kebakaran; yang semua itu sangat wajar ditindak polisi.
"Tapi apakah di dalam prosesnya, setelah menangkap mereka, Polri tidak melakukan kekerasan yang berlebihan? Nach ini yang saya kira jadi konsen Amnesty juga, walau di video terlihat orang-orang itu benar-benar menggunakan kekerasan menyerang Polri atau merusak segala hal yang seharusnya tidak dirusak," ucapnya.
Ia menilai seharusnya setelah perusuh ditangkap polisi, tidak ada tindakan berlebihan dari polisi, cukup diserahkan kepada penyidik untuk diproses lebih jauh dengab didampingi pengacara, diajukan ke pengadilan. Pada ranah ini, ada sorotan besar dari masyarakat soal standar operasi baku polisi dalam tugas-tugas polisional seperti itu.
Juga baca: Massa aksi mulai lemparkan bom molotov ke arah polisi
Juga baca: Kerumunan massa aksi bertahan di ruas jalan Wahid Hasyim
Juga baca: Berita menarik hukum, demo di Bawaslu hingga SBY soal Pemilu
"Tidak justru sebaliknya ketika di lokasi sudah diamankan dalam kondisi tidak berdaya, oleh banyak oknum anggota polisi yang lain misalnya dipukul, ditendang itu yang saya kira merupakan persoalan HAM yang jadi tanggung jawab bersama," ucap dia.
Pada sisi lain, Amnesty International Indonesia juga mengapresiasi pernyataan Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Polisi Gatot Pramono, yang menyatakan akan mengambil tindakan pada oknum polisi yang menerapkan kekerasan secara eksesif dalam tugas pengamanan itu.
Pada Selasa ini, Amnesty International Indonesia menyerahkan hasil investigasinya terkait kekerasan HAM saat kericuhan 21-22 Mei 2019 yang terus berlangsung hingga 23 Mei 2019 pagi pada Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Gatot Eddy Pramono.
Dalam pertemuan itu, Amnesty International juga menekankan agar pihak kepolisian tidak pandang bulu di dalam mengusut perkara tersebut untuk dibawa ke pengadilan, terkait juga dengan kematian Harun Ar-Rasyid, Abdul Aziz, Farhan dan beberapa orang korban lainnya.
Diketahui pada 21-22 Mei 2019, telah terjadi kekisruhan di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu, usai aksi demonstrasi menolak hasil pemilu 2019. Selain di Gedung Bawaslu, kekisruhan juga terjadi di sekitar Asrama Brimob Petamburan.
Dalam kericuhan itu, ada sekitar sembilan hingga 10 orang tewas; sembilan di antaranya dipastikan terluka tembak dan ratusan orang ditahan.
"Saya kira dalam pertemuan tadi, Pak Kapolda Metro Jaya juga sudah mengakui bahwa ada kekerasan eksesif yang dilakukan oknum ketika mengamankan orang-orang yang terlibat di dalam kerusuhan," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, di Markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Selasa.
Ia tidak menutup mata bahwa dari penelitiannya pada 28 rekaman video yang menunjukkan berbagai insiden kekerasan oleh massa, di antaranya merusak kendaraan polisi, menyerang asrama polisi atau menyandera mobil pemadam kebakaran; yang semua itu sangat wajar ditindak polisi.
"Tapi apakah di dalam prosesnya, setelah menangkap mereka, Polri tidak melakukan kekerasan yang berlebihan? Nach ini yang saya kira jadi konsen Amnesty juga, walau di video terlihat orang-orang itu benar-benar menggunakan kekerasan menyerang Polri atau merusak segala hal yang seharusnya tidak dirusak," ucapnya.
Ia menilai seharusnya setelah perusuh ditangkap polisi, tidak ada tindakan berlebihan dari polisi, cukup diserahkan kepada penyidik untuk diproses lebih jauh dengab didampingi pengacara, diajukan ke pengadilan. Pada ranah ini, ada sorotan besar dari masyarakat soal standar operasi baku polisi dalam tugas-tugas polisional seperti itu.
Juga baca: Massa aksi mulai lemparkan bom molotov ke arah polisi
Juga baca: Kerumunan massa aksi bertahan di ruas jalan Wahid Hasyim
Juga baca: Berita menarik hukum, demo di Bawaslu hingga SBY soal Pemilu
"Tidak justru sebaliknya ketika di lokasi sudah diamankan dalam kondisi tidak berdaya, oleh banyak oknum anggota polisi yang lain misalnya dipukul, ditendang itu yang saya kira merupakan persoalan HAM yang jadi tanggung jawab bersama," ucap dia.
Pada sisi lain, Amnesty International Indonesia juga mengapresiasi pernyataan Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Polisi Gatot Pramono, yang menyatakan akan mengambil tindakan pada oknum polisi yang menerapkan kekerasan secara eksesif dalam tugas pengamanan itu.
Pada Selasa ini, Amnesty International Indonesia menyerahkan hasil investigasinya terkait kekerasan HAM saat kericuhan 21-22 Mei 2019 yang terus berlangsung hingga 23 Mei 2019 pagi pada Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Gatot Eddy Pramono.
Dalam pertemuan itu, Amnesty International juga menekankan agar pihak kepolisian tidak pandang bulu di dalam mengusut perkara tersebut untuk dibawa ke pengadilan, terkait juga dengan kematian Harun Ar-Rasyid, Abdul Aziz, Farhan dan beberapa orang korban lainnya.
Diketahui pada 21-22 Mei 2019, telah terjadi kekisruhan di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu, usai aksi demonstrasi menolak hasil pemilu 2019. Selain di Gedung Bawaslu, kekisruhan juga terjadi di sekitar Asrama Brimob Petamburan.
Dalam kericuhan itu, ada sekitar sembilan hingga 10 orang tewas; sembilan di antaranya dipastikan terluka tembak dan ratusan orang ditahan.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019
Tags: