Jakarta (ANTARA) - Ahli hukum Wincen Santoso melihat dalam beberapa tahun terakhir ini perusahaan-perusahaan di Indonesia yang tengah berperkara atau bersengketa dengan mitra bisnisnya lebih suka menyelesaikannya melalui arbitrase.

"Bermunculan sengketa bisnis ini sebagai dampak makin deras investasi asing masuk ke Indonesia dan juga sebaliknya banyak perusahaan Indonesia yang go international," kata Wincen yang juga menjabat sebagai Senior Associate DLA Piper Singapore Pte Ltd saat berbincang-bincang dengan wartawan, di Jakarta, Senin.

Menurut dia, sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan asing dengan perusahaan lokal. Sengketa bisnis yang melibatkan pelaku bisnis internasional tidak jarang berujung pada arbitrase internasional.

"Terbukti, jumlah kasus sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan Indonesia di tingkat arbitrase internasional pun makin meningkat tajam," kata Wincen.

Wincen Santoso, advokat Indonesia dan New York lulusan accelerated route to Fellowship Chartered Institute of Arbitrators menilai saat ini arbitrase menjadi primadona untuk penyelesaian sengketa bisnis di skala internasional.

"Semakin sentral perekonomian benua Asia bagi dunia turut memberikan dampak bagi meningkatnya volume transaksi bisnis internasional di kawasan ini. Sengketa bisnis pun akhirnya menjadi hal yang tidak terelakkan. Advokat karenanya dituntut untuk selalu mengasah keterampilan dan pengalaman serta penguasaan peraturan abitrase internasional sebagai alternatif penyelesaian sengketa," ujarnya pula.

Wincen menjelaskan, pada tahun 2018 ada 62 pihak yang melibatkan perusahaan Indonesia di Singapore International Arbitration Centre (SIAC). Jumlah itu melonjak drastis dari tahun-tahun sebelumnya.

Sebagai perbandingan, pada tahun 2017 hanya ada 32 pihak yang melibatkan perusahaan Indonesia di SIAC. Jumlah 62 itu menempatkan Indonesia menjadi negara nomor 5 yang paling banyak berperkara di SIAC, setelah Amerika Serikat, India, Malaysia, dan China.

Padahal, jumlah itu belum termasuk perkara-perkara yang melibatkan perusahaan Indonesia di International Chamber of Commerce (ICC), London Court of International Arbitration (LCIA), dan Hong Kong International Arbitration Centre (HKIAC).

Menurut Wincen, arbitrase layaknya seperti pengadilan swasta, di mana para pihak berperkara dapat menunjuk arbiter (hakimnya). Arbitrase juga menyidangkan perkara untuk tingkat pertama dan terakhir, sehingga tidak dikenal istilah banding atau kasasi.

“Di samping itu karena perkara diadili oleh arbiter yang ditunjuk oleh pihak berperkara, sehingga arbiter/hakim benar-benar menguasai masalah. Misalnya untuk perkara konstruksi dapat dipertimbangkan untuk ditunjuk arbiter yang ahli di bidang konstruksi,” ujarnya lagi.

Wincen menambahkan arbitrase menjadi sarana untuk penyelesaian sengketa bisnis internasional populer karena diakui oleh 159 negara.

”Jadi misalnya ada sengketa antara perusahaan Indonesia versus perusahaan Republik Rakyat Tiongkok di Singapura dan diselesaikan melalui arbitrase. Kemudian, pihak Indonesia menang dan ternyata aset perusahaan RRT berada di Russia, Australia, dan Inggris, maka putusan arbitrase pada umumnya dapat dieksekusi di sejumlah negara tersebut dengan beberapa catatan,” ujarnya lagi.

Hal ini berbeda apabila sengketanya diadili di pengadilan asing. Pengadilan negara lain pada umumnya tidak akan mau melaksanakan putusan pengadilan asing apabila tidak ada dasar perjanjian internasional.

"Selain itu, setiap negara punya kedaulatan masing-masing jadi tidak bisa putusan pengadilan Singapura dilaksanakan di Indonesia, tanpa adanya dasar perjanjian internasional, kecuali dalam kerangka arbitrase internasional,” ujar Wincen.

Untuk mengantisipasi lonjakan kasus yang diperkarakan di arbitrase, SIAC juga menggelar seminar pada 6-7 Juli 2019 di Jakarta. Pada seminar yang menghadirkan berbagai pembicara dan peserta internasional, Indonesia tidak hanya menjadi tuan rumah, namun patut berbangga karena advokatnya terlibat sebagai narasumber pada seminar tersebut.

SIAC merupakan salah satu badan arbitrase terkemuka di dunia dan penyelenggaraan seminar di Indonesia menandakan tren positif bahwa kebutuhan akan advokat Indonesia dalam proses penyelesaian sengketa bisnis internasional semakin tinggi.

Wincen yang juga dijadwalkan menjadi salah satu pembicara/fasilitator di seminar itu akan membagikan pengalamannya dalam beracara di SIAC.
Baca juga: Freeport akan gugat Indonesia ke arbitrase internasional

Dia akan membagikan tips dan membahas berbagai putusan penting guna memahami proses sidang acara cepat.

Dibahas pula mengenai putusan interim darurat, hingga pembebasan awal tuntutan.

Dia menegaskan bahwa peran advokat Indonesia sangatlah penting dalam sengketa bisnis yang melibatkan perusahaan Indonesia.

Perlu diperhatikan bahwa tidak sedikit putusan arbitrase internasional ditolak pelaksanaannya karena advokat asing yang beracara mengesampingkan strategi pembelaan yang unik untuk klien atau lawan dari Indonesia karena nantinya setelah perkara di forum arbitrase selesai, tahap yang tidak kalah penting justru adalah pelaksanaan putusan.

Tidak semua putusan SIAC dapat dengan mudah diterima eksekusinya oleh pengadilan di Indonesia maupun di pengadilan di negara lain.

Karena itu, lanjut dia, tidak dapat dipungkiri, penyelesaian sengketa bisnis internasional adalah bagian penting untuk memuluskan transaksi bisnis internasional.

Kepercayaan pelaku bisnis pada proses penyelesaian sengketa yang efektif serta kehandalan advokat dalam menavigasi sengketa dan pelaksanaan putusannya merupakan insentif penting bagi pelaku bisnis internasional.