Pengamat: Dorong industri andalan perbanyak penggunaan produk lokal
8 Juli 2019 19:02 WIB
Pekerja melakukan pengujian contoh bahan baku produk jadi adukan semen di Pusat Riset dan Pengembangan Mortar Utama-Weber Saint Gobain Group, di Cibitung, Jawa Barat, Selasa (18/9/2018 ). Peresmian Pusat Riset dan Pengembangan Mortar Utama-Weber tersebut sebagai upaya mendorong potensi material lokal untuk diadaptasi dalam formula produk sekaligus memenuhi standar internasional dalam industri adukan semen (mortar). ANTARA FOTO/Risky Andrianto/ama
Jakarta (ANTARA) - Ekonom Universitas Indonesia Harryadin Mahardika menyarankan agar pemerintah agar fokus pada sejumlah sektor andalan nasional untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri.
“Kita cukup kuat di industri dasar, industri tekstil, industri otomotif, pertahankan. Kita juga cukup bagus di industri bahan bangunan dan industri baja juga,” ujar Harryadin saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Industri yang dinilai sudah bagus tersebut, menurut Harryadin, perlu dilakukan proteksi agar dapat terus bersaing di pasar.
“Pemerintah harus berani untuk mulai memberikan batasan proteksi untuk industri-industri yang memiliki komponen manufaktur lokal yang tinggi,” kata Harryadin.
Lebih lanjut, dia melihat bahwa secara komposisi, sektor manufaktur menjadi semakin sulit mendapat pasar di luar dan dalam negeri.
“Tidak bisa bersaing tidak punya pasar, akhirnya mati. Kita harus melihat bagaimana industri tidak turun lebih rendah lagi,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi. Dia menyarankan agar pemerintah fokus pada sektor yang masuk dalam Indeks Keunggulan Komperatif.
Sejumlah sektor yang masuk dalam Indeks Keunggulan Komperatif, di antaranya, sektor pertanian, sektor produk kimia dan turunannya, serta mesin atau otomotif. “Prioritasnya global value chain, bukan semata-mata mendorong industri lokal,” ujarnya.
Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2017, kontribusi Indonesia dalam dalam rantai nilai global tergolong rendah, yakni 43,5, di bawah rata-rata kontribusi agregat negara berkembang yaitu 48,5.
Malaysia menjadi negara yang memiliki kontribusi tinggi mencapai 60,8. Demikian pula dengan Thailand sebesar 54,3 dan China sebesar 47,7. Indeks kontribusi tersebut mengindikasikan keterlibatan suatu negara dalam produksi sebuah barang yang melibatkan banyak negara saat produksi.
“Kita cukup kuat di industri dasar, industri tekstil, industri otomotif, pertahankan. Kita juga cukup bagus di industri bahan bangunan dan industri baja juga,” ujar Harryadin saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Industri yang dinilai sudah bagus tersebut, menurut Harryadin, perlu dilakukan proteksi agar dapat terus bersaing di pasar.
“Pemerintah harus berani untuk mulai memberikan batasan proteksi untuk industri-industri yang memiliki komponen manufaktur lokal yang tinggi,” kata Harryadin.
Lebih lanjut, dia melihat bahwa secara komposisi, sektor manufaktur menjadi semakin sulit mendapat pasar di luar dan dalam negeri.
“Tidak bisa bersaing tidak punya pasar, akhirnya mati. Kita harus melihat bagaimana industri tidak turun lebih rendah lagi,” ujarnya.
Hal senada juga disampaikan, ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi. Dia menyarankan agar pemerintah fokus pada sektor yang masuk dalam Indeks Keunggulan Komperatif.
Sejumlah sektor yang masuk dalam Indeks Keunggulan Komperatif, di antaranya, sektor pertanian, sektor produk kimia dan turunannya, serta mesin atau otomotif. “Prioritasnya global value chain, bukan semata-mata mendorong industri lokal,” ujarnya.
Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2017, kontribusi Indonesia dalam dalam rantai nilai global tergolong rendah, yakni 43,5, di bawah rata-rata kontribusi agregat negara berkembang yaitu 48,5.
Malaysia menjadi negara yang memiliki kontribusi tinggi mencapai 60,8. Demikian pula dengan Thailand sebesar 54,3 dan China sebesar 47,7. Indeks kontribusi tersebut mengindikasikan keterlibatan suatu negara dalam produksi sebuah barang yang melibatkan banyak negara saat produksi.
Pewarta: Arindra Meodia
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2019
Tags: