Bogor (ANTARA) -
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan perbaikan kondisi neraca perdagangan Indonesia yang saat ini tercatat defisit harus dilakukan dengan kerja seluruh kabinet.

"Untuk menangani masalah neraca perdagangan ini harus merupakan kerja bersama dari seluruh kabinet dan beliau (Presiden) tadi menyampaikan bahwa seluruh tim harus melihat secara detail komoditasnya, negara tujuannya, supaya kita juga bisa formulasikan kebijakan yang lebih tepat mengenai hal tersebut," kata Menkeu di Istana Bogor, Senin.

Presiden Joko Widodo dalam sidang kabinet paripurna meminta agar para menteri kabinetnya berhati-hati terhadap defisit neraca perdagangan senilai 2,14 miliar dolar AS pada Januari-Mei 2019.

Berdasarkan data BPS, ekspor Januari sampai Mei 2019 'year on year' turun 8,6 (persen) sedangkan impor Januari-Mei juga turun 9,2 (persen). Artinya neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Mei mengalami defisit 2,14 miliar dolar AS. Menurut Presiden, defisit tersebut banyak disumbang oleh impor migas.

"Coba dicermati angka-angka ini dari mana? Kenapa impor jadi sangat tinggi? Kalau didetailkan lagi migasnya ini naiknya gede sekali. Hati-hati di migas Pak Menteri ESDM yang berkaitan dengan ini, Bu menteri BUMN yang berkaitan dengan ini, karena 'ratenya' yang paling banyak ada di situ," kata Presiden Joko Widodo.

Menkeu Sri Mulyani mengakui bahwa dari sisi eksternal neraca perdagangan mengalami pelemahan dan hal itu berkontribusi kepada pelemahan ekonomi di Indonesia.

"Sehingga membutuhkan perhatian dari seluruh kementerian dan lembaga untuk memacu perdagangan terutama ekspor dan untuk menjaga barang subtitusi impor tetap terbangun," katanya.

Sedangkan terkait dengan insentif bagi industri, ia menyatakan bahwa Presiden meminta agar kementerian dapat memberikan kemudahan dalam proses bisnis.

"Seperti mendapatkan tanah dan lainnya, nanti dilihat saja oleh para menteri yang lain melalui instrumen 'policy' yang mereka miliki," katanya

Sementara untuk impor migas, Sri Mulyani mengakui ada peningkatan kebutuhan di dalam negeri sedangkan produksi migas malah di bawah prediksi.

"Selama ini kalau kita lihat, sampai semester I produksi minyak dan gas kebetulan di bawah yang kita asumsikan awal, jadi dari sisi kuantitatif turun. Tahun ini juga kebetulan kurs maupun harga minyak lebih rendah, jadi penerimaan kita dari sisi migas mengalami penurunan, namun kebutuhan di dalam negeri itu meningkat sehingga memang harus dipikirkan strategi dari hulunya bagaimana ditemukan sumur-sumur (minyak) yang baru, yang ada harus memproduksi lebih banyak dan kemudian gas juga sama," katanya.

Selain meningkatkan produksi, Sri Mulyani menilai bahwa kebutuhan migas di dalam negeri harus dicari substitusinya seperti implementasi B20.

"Dalam hal ini juga untuk kebutuhan dalam negeri apakah bisa ada subtitusinya seperti B20, implementasinya seperti apa? Itu yang mungkin lebih perlu diperhatikan karena selain neraca pembayaran, nanti juga terlihat juga di dalam APBN kita. Ini kan sedang diluncurkan, jadi belum kelihatan efektivitasnya," katanya.

Sedangkan Menteri BUMN Rini Soemarno menyatakan dirinya tidak apa-apa ditegur oleh Presiden.

"Oh kalau ditegur mah enggak apa-apa. Nggak apa-apa, ya kita harus lebih kerja keras mengingat impor kita turun, tapi lebih turun lagi ekspor kita, jadi kita harus lebih banyak kerja keras, Migas kita memang kalau 'demand' naik otomatis kita impor banyak, kita akan lihat kenapa bulan Mei naik," kata Rini.

Baca juga: Presiden minta menteri hati-hati terhadap defisit neraca perdagangan

Baca juga: IGJ: Atasi defisit neraca dengan nilai tambah industri

Baca juga: Ekonom proyeksikan defisit anggaran 2,21 persen dari PDB akhir 2019 ​​​​​​​