Kerusakan habitat gajah Sumatera picu lonjakan konflik dengan manusia
8 Juli 2019 17:05 WIB
Seekor Gajah Sumatera liar berada di Suaka Margasatwa Balai Raja, Kabupaten Bengkalis, Riau, Selasa (16/2). Konflik antara Gajah Sumatera (elephas maximus sumatranus) dan manusia tidak terhindarkan akibat daerah jelajah gajah liar seperti Suaka Margasatwa Balai Raja sudah menjadi perkampungan dan perkebunan kelapa sawit warga sehingga dari luas 18.000 hektare kini hanya tersisa 200 hektare berupa hutan. (ANTARA FOTO/Abuyahya)
Pekanbaru (ANTARA) - Meningkatnya konflik gajah sumatera dengan manusia di Provinsi Riau tahun 2019 disebabkan faktor daya dukung yang rendah, termasuk habitat atau ruang hidup yang diperlukan gajah untuk melakukan aktivitas harian.
"Kelompok gajah memerlukan ruang gerak dari 7 sampai 15 kilometer persegi. Saat ini habitat alami sudah banyak berubah menjadi perkebunan, pemukiman, hutan tanaman industri, pertambangan atau perminyakan dan pembangunan fasilitas umum atau jalan raya, mengakibatkan keter4asediaan pakan yang terbatas di hutan alami," kata Kepala Bidang Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Heru Sutmantoro di Pekanbaru, Senin.
Ia menjelaskan setiap satu ekor gajah dewasa membutuhkan sekitar 200-300 kilogram pakan per hari, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pakan setiap hari harus keluar dari habitat alami yang sangat terbatas. Untuk menambah populasi, gajah harus berkembang biak sehingga kelompok gajah betina harus bergerak untuk sosialisasi terhadap keberadaan gajah jantan.
Upaya yang telah dilakukan, katya dia, adalah melakukan mitigasi konflik seperti pemetaan kantong gajah, pemetaan pergerakan, monitoring populasi, sosialisasi kepada warga terdampak.
"Untuk gajah yang sudah terlanjur masuk dalam perkebunan/pemukiman dan sebagainya, dilakukan penghalauan atau penggiringan ke habitat alaminya baik secara manual menggunakan bunyi bunyian seperti mercon atau menggunakan gajah jinak. Untuk mitigasi berbasis geospasial perlu pemasangan GPS collar atau kalung pada kelompok gajah liar," ujarnya.
Menurut dia, hasilnya saat ini belum efektif untuk meminimalisir konflik yang terjadi, namun kegiatan penanganan konflik gajah yang dilakukan, telah membantu masyarakat meminimalkan kerusakan terhadap tanaman perkebunan, pertanian maupun sarana prasarana yang ada.
"Semua pihak harus terlibat dalam penanganan konflik satwa liar, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, sektor swasta, LSM, dan pemangku kepentingan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri kehutanan P.48 tahun 2008 tentang penanggulangan konflik satwa liar," katanya.
Dari data BBKSDA Riau, selama periode Januari-Juni 2018 tercatat ada 16 kasus konflik gajah liar dengan manusia di sejumlah daerah di Riau. Kasus paling tinggi terjadi pada bulan Maret, ada enam kasus yang terjadi di Kabupaten Pelalawan dua kasus, Kampar tiga kasus dan Bengkalis satu kasus.
Sementara itu, pada Januari-Juni 2019 jumlah konflik gajah meningkat karena sudah tercatat ada 30 kasus. Kasus banyak terjadi pada bulan Juni ada sebanyak 10 kasus, yang terjadi di Bengkalis dua kasus dan Kampar dan Kota Pekanbaru masing-masing empat kasus.
Sejak awal tahun ini konflik gajah tergolong tinggi, mulai dari Januari ada empat kasus meningkat jadi lima kasus pada Februari. Bulan Maret mereda jadi hanya satu kasus, dan meningkat lagi pada April dan Mei masing-masing ada empat dan enam kasus.
Heru mengatakan kasus yang kini sedang ditangani adalah kawanan 11 ekor gajah sumatera yang bergerak di dekat permukiman dan kebun milik warga di Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Gajah tersebut kerap disebut 'kelompok 11' yang berasal dari kantong gajah Minas.
Baca juga: Gajah tertua dikerahkan untuk halau "Kelompok 11"
Baca juga: Konflik gajah liar di Riau meningkat dua kali lipat
Baca juga: Konflik Gajah di Riau akibat kerusakan parah lanskap Tesso Nilo
"Kelompok gajah memerlukan ruang gerak dari 7 sampai 15 kilometer persegi. Saat ini habitat alami sudah banyak berubah menjadi perkebunan, pemukiman, hutan tanaman industri, pertambangan atau perminyakan dan pembangunan fasilitas umum atau jalan raya, mengakibatkan keter4asediaan pakan yang terbatas di hutan alami," kata Kepala Bidang Wilayah II Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau, Heru Sutmantoro di Pekanbaru, Senin.
Ia menjelaskan setiap satu ekor gajah dewasa membutuhkan sekitar 200-300 kilogram pakan per hari, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pakan setiap hari harus keluar dari habitat alami yang sangat terbatas. Untuk menambah populasi, gajah harus berkembang biak sehingga kelompok gajah betina harus bergerak untuk sosialisasi terhadap keberadaan gajah jantan.
Upaya yang telah dilakukan, katya dia, adalah melakukan mitigasi konflik seperti pemetaan kantong gajah, pemetaan pergerakan, monitoring populasi, sosialisasi kepada warga terdampak.
"Untuk gajah yang sudah terlanjur masuk dalam perkebunan/pemukiman dan sebagainya, dilakukan penghalauan atau penggiringan ke habitat alaminya baik secara manual menggunakan bunyi bunyian seperti mercon atau menggunakan gajah jinak. Untuk mitigasi berbasis geospasial perlu pemasangan GPS collar atau kalung pada kelompok gajah liar," ujarnya.
Menurut dia, hasilnya saat ini belum efektif untuk meminimalisir konflik yang terjadi, namun kegiatan penanganan konflik gajah yang dilakukan, telah membantu masyarakat meminimalkan kerusakan terhadap tanaman perkebunan, pertanian maupun sarana prasarana yang ada.
"Semua pihak harus terlibat dalam penanganan konflik satwa liar, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi maupun kabupaten/kota, sektor swasta, LSM, dan pemangku kepentingan. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Menteri kehutanan P.48 tahun 2008 tentang penanggulangan konflik satwa liar," katanya.
Dari data BBKSDA Riau, selama periode Januari-Juni 2018 tercatat ada 16 kasus konflik gajah liar dengan manusia di sejumlah daerah di Riau. Kasus paling tinggi terjadi pada bulan Maret, ada enam kasus yang terjadi di Kabupaten Pelalawan dua kasus, Kampar tiga kasus dan Bengkalis satu kasus.
Sementara itu, pada Januari-Juni 2019 jumlah konflik gajah meningkat karena sudah tercatat ada 30 kasus. Kasus banyak terjadi pada bulan Juni ada sebanyak 10 kasus, yang terjadi di Bengkalis dua kasus dan Kampar dan Kota Pekanbaru masing-masing empat kasus.
Sejak awal tahun ini konflik gajah tergolong tinggi, mulai dari Januari ada empat kasus meningkat jadi lima kasus pada Februari. Bulan Maret mereda jadi hanya satu kasus, dan meningkat lagi pada April dan Mei masing-masing ada empat dan enam kasus.
Heru mengatakan kasus yang kini sedang ditangani adalah kawanan 11 ekor gajah sumatera yang bergerak di dekat permukiman dan kebun milik warga di Desa Karya Indah, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Riau. Gajah tersebut kerap disebut 'kelompok 11' yang berasal dari kantong gajah Minas.
Baca juga: Gajah tertua dikerahkan untuk halau "Kelompok 11"
Baca juga: Konflik gajah liar di Riau meningkat dua kali lipat
Baca juga: Konflik Gajah di Riau akibat kerusakan parah lanskap Tesso Nilo
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019
Tags: