Legislator: penerapan PPDP daring terlalu dipaksakan
6 Juli 2019 11:25 WIB
Seorang pelajar di Tanjungpinang menunjukkan tanda bukti verifikasi Penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). ANTARA/Nikolas Panama/aa
Tanjungpinang (ANTARA) - Penerapan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMPN dan SMAN melalui zonasi secara daring (online) terlalu dipaksakan Kementerian Pendidikan, kata anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau, Rudy Chua.
"Akibatnya menimbulkan permasalahan hampir di seluruh Indonesia, bukan hanya di Kepri," ujarnya di Tanjungpinang, Sabtu.
Menurut Rudy, kondisi sarana dan prasarana di daerah tidak selalu sama. Kondisi sekolah pada tujuh kabupaten dan kota di Kepri, tidak sama, terutama sarana pendidikan masih minim.
Ia menjelaskan, sekolah yang dinilai terbaik di Kota Tanjungpinang, misalnya, masih menyimpan permasalahan, seperti kursi yang rusak, dan komputer yang belum diremajakan, padahal setiap tahun sekolah itu diincar oleh para pelajar.
"Jika ingin pemerataan kualitas sekolah melalui PPDP sistem zonasi, seharusnya tidak ada lagi penilaian sekolah favorit dan lainnya yang menimbulkan strata dengan sekolah lainnya," tegasnya.
Baca juga: Warga Tanjungpinang kecewa dengan sistem PPDB SMA
Keterbatasan jumlah sekolah, ruang kelas dan kursi juga menyisakan permasalahan serius pada tahun ini. Sistem zonasi membuat pelajar yang tinggal di kawasan yang tidak terlalu jauh dari sekolah ditolak sistem. Salah satu penyebabnya pelajar yang tinggal di sekitar sekolah sudah terlalu banyak.
Contohnya, pelajar yang tinggal di Jalan Wiratno, yang jarak paling dekat dengan SMPN 1 atau SMAN 1 hanya sekitar 1,2-1,4 KM, ditolak sistem. Padahal mereka merupakan pelajar yang cerdas.
Sementara jika ingin melalui jalur prestasi, mereka kalah dengan pelajar yang memiliki prestasi di bidang olah raga. Dalam satu kali pertandingan, atlet pelajar dapat menerima lebih dari satu sertifikat kejuaraan, sehingga pelajar yang berprestasi di bidang akademik dapat tergeser.
"Apakah ini adil? Tentu tidak," ujarnya.
Belum lagi permasalahan warga yang sudah tidak tinggal di sekitar SMP 1 di Jalan Tugu Pahlawan, namun belum mengurus surat pindah. Warga kini tinggal di KM 13 itu, menginginkan anaknya sekolah di SMPN 16, namun ditolak sistem.
"Dipaksa untuk sekolah di SMPN 1 yang jaraknya 13 kilometer. Tentu ini memberatkan," tuturnya.
Rudy mengatakan sistem PPDP harus diperbaiki. Kementerian Pendidikan semestinya tidak mengintervensi PPDP, karena setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda. Sebaiknya, PPDP untuk SMPN diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, sedangkan SMAN diserahkan kepada Pemprov Kepri.
"UU Pemda memberi wewenang kepada pemda untuk mengurus permasalahan itu. Jika merujuk pada sistem otonomi daerah, tidak tepat Kemendik mengintervensi PPDP," katanya.
Baca juga: Sistem penerimaan siswa baru SMPN Tanjungpinang semrawut
Baca juga: Peserta PPDB daring "serbu" warnet di hari pertama
"Akibatnya menimbulkan permasalahan hampir di seluruh Indonesia, bukan hanya di Kepri," ujarnya di Tanjungpinang, Sabtu.
Menurut Rudy, kondisi sarana dan prasarana di daerah tidak selalu sama. Kondisi sekolah pada tujuh kabupaten dan kota di Kepri, tidak sama, terutama sarana pendidikan masih minim.
Ia menjelaskan, sekolah yang dinilai terbaik di Kota Tanjungpinang, misalnya, masih menyimpan permasalahan, seperti kursi yang rusak, dan komputer yang belum diremajakan, padahal setiap tahun sekolah itu diincar oleh para pelajar.
"Jika ingin pemerataan kualitas sekolah melalui PPDP sistem zonasi, seharusnya tidak ada lagi penilaian sekolah favorit dan lainnya yang menimbulkan strata dengan sekolah lainnya," tegasnya.
Baca juga: Warga Tanjungpinang kecewa dengan sistem PPDB SMA
Keterbatasan jumlah sekolah, ruang kelas dan kursi juga menyisakan permasalahan serius pada tahun ini. Sistem zonasi membuat pelajar yang tinggal di kawasan yang tidak terlalu jauh dari sekolah ditolak sistem. Salah satu penyebabnya pelajar yang tinggal di sekitar sekolah sudah terlalu banyak.
Contohnya, pelajar yang tinggal di Jalan Wiratno, yang jarak paling dekat dengan SMPN 1 atau SMAN 1 hanya sekitar 1,2-1,4 KM, ditolak sistem. Padahal mereka merupakan pelajar yang cerdas.
Sementara jika ingin melalui jalur prestasi, mereka kalah dengan pelajar yang memiliki prestasi di bidang olah raga. Dalam satu kali pertandingan, atlet pelajar dapat menerima lebih dari satu sertifikat kejuaraan, sehingga pelajar yang berprestasi di bidang akademik dapat tergeser.
"Apakah ini adil? Tentu tidak," ujarnya.
Belum lagi permasalahan warga yang sudah tidak tinggal di sekitar SMP 1 di Jalan Tugu Pahlawan, namun belum mengurus surat pindah. Warga kini tinggal di KM 13 itu, menginginkan anaknya sekolah di SMPN 16, namun ditolak sistem.
"Dipaksa untuk sekolah di SMPN 1 yang jaraknya 13 kilometer. Tentu ini memberatkan," tuturnya.
Rudy mengatakan sistem PPDP harus diperbaiki. Kementerian Pendidikan semestinya tidak mengintervensi PPDP, karena setiap daerah memiliki kebutuhan yang berbeda. Sebaiknya, PPDP untuk SMPN diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota, sedangkan SMAN diserahkan kepada Pemprov Kepri.
"UU Pemda memberi wewenang kepada pemda untuk mengurus permasalahan itu. Jika merujuk pada sistem otonomi daerah, tidak tepat Kemendik mengintervensi PPDP," katanya.
Baca juga: Sistem penerimaan siswa baru SMPN Tanjungpinang semrawut
Baca juga: Peserta PPDB daring "serbu" warnet di hari pertama
Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: