Surabaya (ANTARA News) - Staf Ahli Sekretaris Direktur Jenderal (Sesditjen) Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum (PU), Endra Saleh Atmaja ST MSc DEA, menyarankan pertumbuhan mal di Surabaya harus dihentikan. "Stop mal di Surabaya, jangan diteruskan, karena mal di Surabaya sudah keterlaluan. Kalau dibiarkan, identitas kota Surabaya akan hilang dan pertumbuhan ekonomi tak seimbang (kesenjangan)," katanya dalam seminar `Brand Image dan City Marketing` di ITS Surabaya, Kamis. Di hadapan peserta seminar yang diadakan mahasiswa Jurusan Planologi FTSP ITS Surabaya itu, pakar tata ruang yang alumnus Prancis itu mencontohkan Prancis yang merupakan negara maju hanya memiliki satu mal. "Itu bukan berarti Prancis tidak mampu membangun mal, bahkan restoran siap saji di sana juga hanya 1-2 buah, karena mal atau restoran siap saji yang mengacu pada AS itu merupakan monumen-isasi kesenjangan," katanya. Menurut dia, pemerintah Prancis lebih suka tata ruang yang mengangkat identitas kota, bahkan mal yang juga tidak hanya dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi, melainkan juga dijadikan pusat budaya Prancis. "Anehnya, bupati atau walikota justru menjadikan mal sebagai bukti keberhasilan. Semakin banyak mal, maka bupati dianggap berhasil, padahal orang Prancis bilang justru menambah kesenjangan," katanya. Monumen kesenjangan itu, kata alumnus ITB yang kelahiran Magetan, Jatim itu, akibat kios-kios kecil dan pasar tradisional yang tidak berkembang atau bahkan digusur. "Padahal, pembangunan mal justru dapat membuat citra buruk, karena mengurangi jatah Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan pertumbuhan ekonomi menjadi tidak seimbang," katanya. Dalam seminar yang juga diikuti ratusan mahasiswa dan beberapa pakar tata kota itu, pakar tata ITB Ir Andi Oetomo MPl mengatakan penciptaan "branding" sebuah kota jangan terlalu sederhana. "Kalau mau sederhana, bupati atau walikota cenderung menggelar festival, pameran, atau events tertentu, padahal seharusnya perlu diciptakan `branding` yang serius dan berkesinambungan dengan melibatkan daerah lain, provinsi, dan pusat," katanya. Untuk penciptaan "branding" yang serius, katanya, perlu dilakukan riset kebutuhan kelompok sasaran, penataan infrastruktur, tingkat keamanan dan keselamatan, dan menjaga kualitas layanan. "'Branding' itu keunikan identitas kota kita, bukan identitas negara lain seperti `hutan` mall," katanya dalam seminar yang juga menampilkan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Mojokerto Drs Afandi Abdul Hadi SH MPd itu.(*)