Jakarta (ANTARA) - Koalisi Masyarakat Sipil yang mewadahi sejumlah lembaga swadaya masyarakat mendesak Presiden Joko Widodo untuk memberikan amnesti kepada Baiq Nuril setelah Mahkamah Agung menolak perkara Peninjauan Kembali (PK).

"Hanya presiden yang bisa memberikan amnesti, tidak ada jalan lain. Hanya ini yang bisa menghapuskan akibat hukum," kata peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Genoveva Alicia di LBH Pers, Jakarta Selatan, Jumat.

Baca juga: MA tolak permohonan PK Baiq Nuril

Putusan tersebut, kata dia, akan mempersulit upaya mendorong korban kekerasan seksual berani berbicara dan bertindak atas kekerasan yang dialaminya.

Senada dengan Genoveva, Ketua LBH Pers Ade Wahyudin mengatakan Koalisi Masyarakat Sipil menagih janji DPR untuk membentuk Tim Eksaminasi perkara tersebut.

Melalui tim tersebut, DPR bisa memberikan dorongan kepada presiden untuk memberikan amnesti.

"Langkah ini akan kami komunikasikan intensif dengan DPR. Kami harus optimis," katanya.

Sementara itu, kuasa hukum Baiq Nuril, Aziz Fauzi mengatakan amnesti merupakan cara terakhir agar kliennya terbebas dari jerat hukum.

Baca juga: Presiden diminta turun tangan dalam kasus Baiq Nuril
Baca juga: Presiden Joko Widodo persilakan Baiq Nuril ajukan amnesti

Grasi, kata dia, tidak memungkinkan diberikan kepada Baiq Nuril karena syarat untuk mendapatkan grasi sangat terbatas yakni bagi terdakwa yang divonis minimal dua tahun, seumur hidup dan hukuman mati.

Sedangkan pidana yang dijatuhkan kepada Baiq yakni enam bulan penjara dan denda Rp500 juta.

"Kami berharap diberikan amnesti sebelum eksekusi yang bisa saja terjadi dalam waktu 14 hari," katanya.

Penolakan Mahkamah Agung terhadap PK Baiq Nuril itu otomatis menguatkan putusan pidana kepada wanita asal NTB itu yakni penjara enam bulan dan denda Rp500 juta.

Kasus yang sempat menyita perhatian publik Indonesia itu bermula saat mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, NTB tersebut merekam percakapan telepon berisi pelecehan seksual yang menimpa dirinya oleh atasannya, Kepala SMAN 7 Mataram, H Muslim, sekitar tahun 2012.

Baca juga: Baiq Nuril, potret buram hukum Indonesia

Menurut Aziz, rekaman audio itu sebagai wujud melindungi dirinya dari pelecehan yang dilakukan bosnya tersebut.

"Sama sekali Baiq tidak pernah terpikirkan untuk melapor ke polisi karena itu hanya sebagai bukti bahwa dia tidak ada hubungan apa-apa dengan atasannya," ucap Aziz.

Aziz menyebutkan Baiq sempat bercerita terkait pelecehan seksual melalui telepon itu kepada rekan wanitanya.

Namun, seorang rekan kerja lainnya Imam Mudawin meminta rekaman tersebut kepada Baiq.

Tidak diketahui pasti rekaman audio tersebut kemudian menyebar luas.

Baiq kemudian dilaporkan pimpinannya ke polisi karena dianggap telah mendistribusikan rekaman perbincangan tersebut.

Baiq dijerat pasal 27 Ayat 1 juncto Pasal 45 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Baca juga: AII minta Polri proaktif terhadap kasus Baiq Nuril
Baca juga: PK kini satu-satunya harapan Baiq Nuril