Copa America 2019
Prediksi Chile vs Peru, dua langkah besar menuju juara tri-runtun
Oleh Gilang Galiartha
3 Juli 2019 14:53 WIB
Bintang tim nasional Chile Alexis Sanchez mengikat tali sepatunya saat melakoni sesi latihan di Porto Alegre, Brasil, Selasa (2/7/2019) setempat, sehari menjelang partai semifinal Copa America 2019 melawan Peru. (ANTARA/AFP/Juan Mabromata)
Jakarta (ANTARA) - Sepanjang sejarah Copa America, hanya Argentina yang pernah membukukan raihan juara tri-runtun pada 1945, 1946 dan 1947, ketika itu turnamen masih bernama Kejuaraan Amerika Selatan dan digelar dalam format round-robin.
68 tahun berselang setelah Argentina mencapai hal itu dan menambah total koleksi trofi Copa America menjadi 14 kali dan turnamen itu memasuki usia 99 tahun, Chile, baru meraih gelar juara mereka pada 2015.
Setahun berselang, dalam edisi spesial satu abad dan trofi spesial, Chile memenanginya lagi dan kini mereka berpeluang menjadi negara kedua yang pernah menjadi juara tri-runtun Copa America. Mereka hanya dua langkah jaraknya menuju catatan bersejarah tersebut.
Meski berstatus juara bertahan dua edisi, Chile bukan menjadi unggulan paling utama dalam Copa America 2019. Tuan rumah Brasil lah unggulan utamanya, disusul Argentina, Uruguay, Kolombia dan baru Chile, demikian bursa taruhan di rumah-rumah judi.
Juara bertahan dua edisi beruntun hanya dijagokan sebagai unggulan kelima, walaupun jika menilik penampilan para bintangnya di level klub hal itu tidak terlalu mengejutkan. Namun, kompetisi timnas akan selalu berbeda dengan kompetisi klub. Jika tak percaya, tanyakan kepada Lionel Messi.
Di Brasil, Chile tetap tenang. Memainkan apa yang sempat mereka perlihatkan di dua edisi sebelumnya, level konsentrasi yang tenang.
La Roja menelan kekalahan tipis dari Uruguay dalam fase penyisihan grup, namun tim yang lebih diunggulkan itu justru disingkirkan oleh Peru, lawan yang bakal mereka hadapi di babak semifinal. Chile di waktu bersamaan menyingkirkan Kolombia dari perempat final. Dalam satu waktu, Chile melompati dua tim yang tadinya lebih diunggulkan dalam bursa calon juara.
Posisi Chile kembali naik, ketika Argentina menelan kekalahan dalam laga semifinal yang berlangsung lebih awal oleh tuan rumah Brasil. Praktis, Chile kini hanya punya satu tugas yakni mengatasi Brasil di partai final nanti agar bukan cuma melompati pesaingnya di bursa juara tetapi jadi juara sungguhan.
Namun, sebelum itu semua, tugas yang lebih penting bagi Chile saat ini adalah tidak membiarkan diri mereka terlena ketika menghadapi Peru dalam pertandingan semifinal di Stadion Gremio Arena, Porto Alegre, pada Rabu malam setempat atau Kamis (4/7) pagi WIB.
Gelandang Chile, Arturo Vidal, yang turut membantu Chile memenangi Copa America 2015 dan 2016 menegaskan timnya ingin meninggalkan warisan besar dalam sepak bola negaranya.
"Kami ingin meninggalkan catatan emas sebagai juara tri-runtun, itu mimpi kami," kata Vidal dilansir AFP baru-baru ini.
Di atas kertas, Peru bukanlah lawan sepadan bagi Chile. Namun, Uruguay juga mungkin berpikir demikian di babak perempat final, sebelum mendapati mereka kesulitan menembus pertahanan Peru dan ketika akhirnya bisa mencetak gol tiga kali VAR menganulirnya. Uruguay berakhir takluk di tangan Peru lewat adu penalti.
Sekali lagi, di atas kertas Chile jauh lebih unggul dibandingkan Peru ditilik dari segi apapun, baik itu rekam jejak masa lalu maupun penampilan di Brasil sepanjang turnamen kali ini. Peru juga adalah tim yang dilewati Chile di babak semifinal pada edisi 2015, ketika mereka akhirnya menjadi juara.
Vidal meyakini Chile harus tampil sempurna untuk bisa mengalahkan Peru di semifinal, namun sembari lawannya itu seperti Kolombia, gelandang Barcelona itu menyiratkan optimisme bisa meraih kemenangan.
"Kami harus memainkan penampilan sempurna, menang dengan penuh wibawa. Peru punya kerja sama tim yang baik, bermain dengan bagus, mirip seperti Kolombia," katanya.
Jika melewati Peru, satu langkah lagi diambil Chile sebelum kemudian bersiap menghadapi Brasil demi langkah pamungkas mereka meraih juara tri-runtun.
Semua karena cinta
Jika Anda menyaksikan Alexis Sanchez berdasarkan 18 bulan terakhir ia mengenakan seragam Manchester United, mungkin Anda tak akan mengenalnya sebagai bocah ajaib Chile yang menjelma menjadi top skor sepanjang masa negaranya dan bahkan kisah hidupnya sudah diangkat ke layar lebar.
Setelah diperkenalkan dengan adegan memainkan yel-yel "Glory-Glory Man. United" --saduran dari mars Pasukan Union dalam era Perang Sipil Amerika Serikat-- di hadapan sebuah piano, 18 bulan Sanchez di klub itu membuat kariernya terjun bebas.
Pundi-pundi uang tentu masih masuk ke rekening Sanchez, tapi bisa jadi ia kehilangan kenikmatan memainkan bola bundar dan produktivitas golnya merosot jauh dibandingkan ketika ia masih di Arsenal.
Di Brasil, tampil membela Chile di Copa America 2019, Sanchez seolah menemukan kembali sosok pemain yang membantu negaranya menjuarai turnamen tersebut dua edisi beruntun.
Dalam dua pertandingan pertamanya di fase Grup C, Sanchez mencetak dua gol, satu ke gawang Jepang dan lainnya ke gawang Ekuador, jumlah yang sudah melampaui catatannya sepanjang musim di Liga Inggris musim lalu.
Pulang membela timnas dan menjadikannya peluang untuk menemukan kembali permainan terbaik bukan cuma dirasakan oleh Sanchez, Philippe Coutinho yang seperti anak tiri di Barcelona dan James Rodriguez yang terus disekolahkan oleh Real Madrid juga mengalami hal serupa.
Bermain di timnas untuk membela bendera negara, seperti pulang ke rumah yang menyambut dengan peluk hangat dan dukungan tanpa pamrih, mungkin itu yang dimaksud pelatih kepala Chile Reinaldo Rueda.
"Di timnas dengan perhatian yang mereka dapatkan, pemain tak ingin pergi begitu saja. Itulah kenapa Coutinho, James atau Alexis, yang tak melewati musim baik seolah menemukan jatidiri mereka lagi di timnas," kata Rueda.
"Perlakuan yang mereka terima dari saudara sebangsanya bisa menciptakan kekuatan tersendiri. Bahkan mereka yang tak dimainkan klubnya, ketika tiba di timnas berbekal komitmen dan siap menciptakan tim yang kuat," ujar dia menambahkan.
Karena cinta, Sanchez berdiri begitu tenang ketika menjadi algojo penentu kemenangan 5-4 dalam adu penalti kontra Kolombia di babak perempat final lalu.
Perhatian itu, sambutan hangat itu, cinta itu, tentu akan sekuat tenaga berusaha dibalas oleh Sanchez, Vargas dan rekan-rekannya di Chile ketika menjamu Peru. Di lain pihak, Peru juga tentu punya motivasi yang sama, meski skuat mereka tak dihuni nama-nama beken yang beredar di liga top Eropa.
Omong kosong inferioritas
Pelatih Peru Ricardo Gareca sadar benar bahwa timnya tak punya nama-nama besar yang familiar di telinga penonton sepak bola Eropa sebagaimana tim-tim Amerika Latin lain, atau dalam konteks kekinian Chile.
Namun Gareca merasa salah satu bintangnya Christian Cueva, yang membela klub Brasil Santos, patut berbagi panggung dengan pemain-pemain Chile yang tampil di Eropa seperti Vidal, Sanchez, Charles Aranguiz (Bayer Leverkusen) maupun Erick Pulgar (Bologna).
"Sejauh yang saya tahu, Cuevo tak mendapatkan perhatian yang pantas ia dapatkan atas penampilannya di timnas Peru, saya tak tahu kenapa," katanya.
"Ketika pemain (yang bermain di Eropa) melepaskan sebuah umpan selalu diulas sedemikian rupa, namun Cuevo juga melakukan umpan yang sama baiknya namun tak mendapat perhatian apapun," ujar Gareca menambahkan.
Hal itu hanya menjadi motivasi lebih bagi Peru, yang mau tak mau harus menyandang label sebagai tim yang tak diunggulkan. Bukan hal baru. Tapi baru saja, mereka menjungkalkan status itu untuk meruntuhkan Uruguay di perempat final.
Ia menegaskan jika ada anggapan ada gejala inferioritas di antara skuat Peru jelang melawan Chile, itu hanyalah omong kosong belaka.
"Kami berada dalam kondisi yang tepat untuk mengatasi pertandingan semacam ini. Jelas ini salah satu pertandingan terpenting, namun kami bisa bermain lebih baik dari yang diperkirakan," pungkasnya.
Pembuktian ucapan Gareca, bisa jadi membuka jalan bagi Peru untuk mencapai partai final Copa America pertama mereka sejak 1975. Dalam empat edisi terakhir Peru mencapai semifinal namun selalu terhenti di sana.
Namun, Peru punya "takhayul" baik, bahwa dalam dua kali mereka mencapai final Copa America, mereka selalu berhasil memboyong trofi kejuaraan tersebut. Angan-angan yang menjanjikan dan tentunya harus dibuktikan di Gremio Arena nanti.
Catatan lima pertemuan terakhir:
10 Oktober 2014 Chile 3 - Peru 0
29 Juni 2015 Chile 2 - Peru 1
13 Oktober 2015 Chile 4 - Peru 3
11 Oktober 2016 Chile 2 - Peru 1
12 Oktober 2018 Peru 3 - Chile 0
Prakiraan susunan pemain:
Chile (4-3-3): Gabriel Arias; Mauricio Isla, Gary Medel, Guillermo Maripan, Jean Beausejour; Arturo Vidal, Erick Pulgar, Charles Aranguiz; Jose Pedro Fuenzalida, Eduardo Vargas, Alexis Sanchez
Peru (4-2-3-1): Pedro Gallese; Luis Advincula, Luis Abram, Carlos Zambrano, Miguel Trauco; Yoshimar Yotun, Renato Tapia; Andre Carrillo, Christian Cueva, Edison Flores; Paolo Guerrero
Baca juga: Chile bertekad menciptakan sejarah
Baca juga: Suarez membuat Uruguay disingkirkan Peru lewat adu penalti
68 tahun berselang setelah Argentina mencapai hal itu dan menambah total koleksi trofi Copa America menjadi 14 kali dan turnamen itu memasuki usia 99 tahun, Chile, baru meraih gelar juara mereka pada 2015.
Setahun berselang, dalam edisi spesial satu abad dan trofi spesial, Chile memenanginya lagi dan kini mereka berpeluang menjadi negara kedua yang pernah menjadi juara tri-runtun Copa America. Mereka hanya dua langkah jaraknya menuju catatan bersejarah tersebut.
Meski berstatus juara bertahan dua edisi, Chile bukan menjadi unggulan paling utama dalam Copa America 2019. Tuan rumah Brasil lah unggulan utamanya, disusul Argentina, Uruguay, Kolombia dan baru Chile, demikian bursa taruhan di rumah-rumah judi.
Juara bertahan dua edisi beruntun hanya dijagokan sebagai unggulan kelima, walaupun jika menilik penampilan para bintangnya di level klub hal itu tidak terlalu mengejutkan. Namun, kompetisi timnas akan selalu berbeda dengan kompetisi klub. Jika tak percaya, tanyakan kepada Lionel Messi.
Di Brasil, Chile tetap tenang. Memainkan apa yang sempat mereka perlihatkan di dua edisi sebelumnya, level konsentrasi yang tenang.
La Roja menelan kekalahan tipis dari Uruguay dalam fase penyisihan grup, namun tim yang lebih diunggulkan itu justru disingkirkan oleh Peru, lawan yang bakal mereka hadapi di babak semifinal. Chile di waktu bersamaan menyingkirkan Kolombia dari perempat final. Dalam satu waktu, Chile melompati dua tim yang tadinya lebih diunggulkan dalam bursa calon juara.
Posisi Chile kembali naik, ketika Argentina menelan kekalahan dalam laga semifinal yang berlangsung lebih awal oleh tuan rumah Brasil. Praktis, Chile kini hanya punya satu tugas yakni mengatasi Brasil di partai final nanti agar bukan cuma melompati pesaingnya di bursa juara tetapi jadi juara sungguhan.
Namun, sebelum itu semua, tugas yang lebih penting bagi Chile saat ini adalah tidak membiarkan diri mereka terlena ketika menghadapi Peru dalam pertandingan semifinal di Stadion Gremio Arena, Porto Alegre, pada Rabu malam setempat atau Kamis (4/7) pagi WIB.
Gelandang Chile, Arturo Vidal, yang turut membantu Chile memenangi Copa America 2015 dan 2016 menegaskan timnya ingin meninggalkan warisan besar dalam sepak bola negaranya.
"Kami ingin meninggalkan catatan emas sebagai juara tri-runtun, itu mimpi kami," kata Vidal dilansir AFP baru-baru ini.
Di atas kertas, Peru bukanlah lawan sepadan bagi Chile. Namun, Uruguay juga mungkin berpikir demikian di babak perempat final, sebelum mendapati mereka kesulitan menembus pertahanan Peru dan ketika akhirnya bisa mencetak gol tiga kali VAR menganulirnya. Uruguay berakhir takluk di tangan Peru lewat adu penalti.
Sekali lagi, di atas kertas Chile jauh lebih unggul dibandingkan Peru ditilik dari segi apapun, baik itu rekam jejak masa lalu maupun penampilan di Brasil sepanjang turnamen kali ini. Peru juga adalah tim yang dilewati Chile di babak semifinal pada edisi 2015, ketika mereka akhirnya menjadi juara.
Vidal meyakini Chile harus tampil sempurna untuk bisa mengalahkan Peru di semifinal, namun sembari lawannya itu seperti Kolombia, gelandang Barcelona itu menyiratkan optimisme bisa meraih kemenangan.
"Kami harus memainkan penampilan sempurna, menang dengan penuh wibawa. Peru punya kerja sama tim yang baik, bermain dengan bagus, mirip seperti Kolombia," katanya.
Jika melewati Peru, satu langkah lagi diambil Chile sebelum kemudian bersiap menghadapi Brasil demi langkah pamungkas mereka meraih juara tri-runtun.
Semua karena cinta
Jika Anda menyaksikan Alexis Sanchez berdasarkan 18 bulan terakhir ia mengenakan seragam Manchester United, mungkin Anda tak akan mengenalnya sebagai bocah ajaib Chile yang menjelma menjadi top skor sepanjang masa negaranya dan bahkan kisah hidupnya sudah diangkat ke layar lebar.
Setelah diperkenalkan dengan adegan memainkan yel-yel "Glory-Glory Man. United" --saduran dari mars Pasukan Union dalam era Perang Sipil Amerika Serikat-- di hadapan sebuah piano, 18 bulan Sanchez di klub itu membuat kariernya terjun bebas.
Pundi-pundi uang tentu masih masuk ke rekening Sanchez, tapi bisa jadi ia kehilangan kenikmatan memainkan bola bundar dan produktivitas golnya merosot jauh dibandingkan ketika ia masih di Arsenal.
Di Brasil, tampil membela Chile di Copa America 2019, Sanchez seolah menemukan kembali sosok pemain yang membantu negaranya menjuarai turnamen tersebut dua edisi beruntun.
Dalam dua pertandingan pertamanya di fase Grup C, Sanchez mencetak dua gol, satu ke gawang Jepang dan lainnya ke gawang Ekuador, jumlah yang sudah melampaui catatannya sepanjang musim di Liga Inggris musim lalu.
Pulang membela timnas dan menjadikannya peluang untuk menemukan kembali permainan terbaik bukan cuma dirasakan oleh Sanchez, Philippe Coutinho yang seperti anak tiri di Barcelona dan James Rodriguez yang terus disekolahkan oleh Real Madrid juga mengalami hal serupa.
Bermain di timnas untuk membela bendera negara, seperti pulang ke rumah yang menyambut dengan peluk hangat dan dukungan tanpa pamrih, mungkin itu yang dimaksud pelatih kepala Chile Reinaldo Rueda.
"Di timnas dengan perhatian yang mereka dapatkan, pemain tak ingin pergi begitu saja. Itulah kenapa Coutinho, James atau Alexis, yang tak melewati musim baik seolah menemukan jatidiri mereka lagi di timnas," kata Rueda.
"Perlakuan yang mereka terima dari saudara sebangsanya bisa menciptakan kekuatan tersendiri. Bahkan mereka yang tak dimainkan klubnya, ketika tiba di timnas berbekal komitmen dan siap menciptakan tim yang kuat," ujar dia menambahkan.
Karena cinta, Sanchez berdiri begitu tenang ketika menjadi algojo penentu kemenangan 5-4 dalam adu penalti kontra Kolombia di babak perempat final lalu.
Perhatian itu, sambutan hangat itu, cinta itu, tentu akan sekuat tenaga berusaha dibalas oleh Sanchez, Vargas dan rekan-rekannya di Chile ketika menjamu Peru. Di lain pihak, Peru juga tentu punya motivasi yang sama, meski skuat mereka tak dihuni nama-nama beken yang beredar di liga top Eropa.
Omong kosong inferioritas
Pelatih Peru Ricardo Gareca sadar benar bahwa timnya tak punya nama-nama besar yang familiar di telinga penonton sepak bola Eropa sebagaimana tim-tim Amerika Latin lain, atau dalam konteks kekinian Chile.
Namun Gareca merasa salah satu bintangnya Christian Cueva, yang membela klub Brasil Santos, patut berbagi panggung dengan pemain-pemain Chile yang tampil di Eropa seperti Vidal, Sanchez, Charles Aranguiz (Bayer Leverkusen) maupun Erick Pulgar (Bologna).
"Sejauh yang saya tahu, Cuevo tak mendapatkan perhatian yang pantas ia dapatkan atas penampilannya di timnas Peru, saya tak tahu kenapa," katanya.
"Ketika pemain (yang bermain di Eropa) melepaskan sebuah umpan selalu diulas sedemikian rupa, namun Cuevo juga melakukan umpan yang sama baiknya namun tak mendapat perhatian apapun," ujar Gareca menambahkan.
Hal itu hanya menjadi motivasi lebih bagi Peru, yang mau tak mau harus menyandang label sebagai tim yang tak diunggulkan. Bukan hal baru. Tapi baru saja, mereka menjungkalkan status itu untuk meruntuhkan Uruguay di perempat final.
Ia menegaskan jika ada anggapan ada gejala inferioritas di antara skuat Peru jelang melawan Chile, itu hanyalah omong kosong belaka.
"Kami berada dalam kondisi yang tepat untuk mengatasi pertandingan semacam ini. Jelas ini salah satu pertandingan terpenting, namun kami bisa bermain lebih baik dari yang diperkirakan," pungkasnya.
Pembuktian ucapan Gareca, bisa jadi membuka jalan bagi Peru untuk mencapai partai final Copa America pertama mereka sejak 1975. Dalam empat edisi terakhir Peru mencapai semifinal namun selalu terhenti di sana.
Namun, Peru punya "takhayul" baik, bahwa dalam dua kali mereka mencapai final Copa America, mereka selalu berhasil memboyong trofi kejuaraan tersebut. Angan-angan yang menjanjikan dan tentunya harus dibuktikan di Gremio Arena nanti.
Catatan lima pertemuan terakhir:
10 Oktober 2014 Chile 3 - Peru 0
29 Juni 2015 Chile 2 - Peru 1
13 Oktober 2015 Chile 4 - Peru 3
11 Oktober 2016 Chile 2 - Peru 1
12 Oktober 2018 Peru 3 - Chile 0
Prakiraan susunan pemain:
Chile (4-3-3): Gabriel Arias; Mauricio Isla, Gary Medel, Guillermo Maripan, Jean Beausejour; Arturo Vidal, Erick Pulgar, Charles Aranguiz; Jose Pedro Fuenzalida, Eduardo Vargas, Alexis Sanchez
Peru (4-2-3-1): Pedro Gallese; Luis Advincula, Luis Abram, Carlos Zambrano, Miguel Trauco; Yoshimar Yotun, Renato Tapia; Andre Carrillo, Christian Cueva, Edison Flores; Paolo Guerrero
Baca juga: Chile bertekad menciptakan sejarah
Baca juga: Suarez membuat Uruguay disingkirkan Peru lewat adu penalti
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: