OPEC akan perpanjang pengurangan pasokan minyak jika Iran mendukung
1 Juli 2019 10:27 WIB
Pertemuan negara-negara anggota Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya termasuk di Rusia, dimulai Senin, 1 Juli 2019 hingga 2 Juli 2019 di Wina untuk memutuskan perpanjangan perjanjian pengurangan produksi. (Foto: Istimewa)
Wina (ANTARA) - Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya akan memperpanjang pengurangan pasokan minyak minggu depan setidaknya sampai akhir 2019, ketika Irak bergabung dengan produsen utama Arab Saudi dan Rusia pada Minggu (30/6/2019) dalam mendukung kebijakan yang bertujuan menopang harga minyak mentah di tengah melemahnya ekonomi global.
Iran adalah satu-satunya negara OPEC utama yang belum berbicara secara terbuka tentang perlunya memperpanjang pengurangan produksi. Teheran yang pada masa lalu keberatan dengan kebijakan yang diajukan oleh saingan berat Arab Saudi, mengatakan Riyadh terlalu dekat dengan Washington.
Amerika Serikat bukan anggota OPEC, juga tidak berpartisipasi dalam pakta pasokan. Washington telah menuntut Riyadh memompa lebih banyak minyak untuk mengimbangi ekspor yang lebih rendah dari Iran setelah memberikan sanksi baru pada Teheran atas program nuklirnya.
OPEC dan sekutunya yang dipimpin oleh Rusia telah mengurangi produksi minyak sejak 2017 untuk mencegah penurunan harga di tengah melonjaknya produksi dari Amerika Serikat, yang telah menjadi produsen utama dunia tahun ini di depan Rusia dan Arab Saudi.
Kekhawatiran tentang melemahnya permintaan global sebagai akibat dari perselisihan perdagangan AS-China telah menambah tantangan yang dihadapi oleh 14 negara OPEC dalam beberapa bulan terakhir.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada Sabtu (29/6/2019) bahwa dia telah setuju dengan Arab Saudi untuk memperpanjang pengurangan produksi yang ada sebesar 1,2 juta barel per hari, atau 1,2 persen dari permintaan global, enam hingga sembilan bulan mendatang yaitu hingga Desember 2019 atau Maret 2020.
Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih mengatakan kesepakatan itu kemungkinan besar akan diperpanjang sembilan bulan dan tidak ada pengurangan yang lebih dalam diperlukan.
"Ini adalah rollover dan itu terjadi," ujar Falih, yang negaranya adalah pemimpin de facto OPEC, kepada wartawan.
Warren Patterson, kepala strategi komoditas di bank Belanda ING, mengatakan OPEC akan lebih rugi dengan tidak memperpanjang kesepakatan.
"Ini turun sebagian besar ke harga impas minyak - Saudi memiliki harga impas sekitar 85 dolar AS per barel, sehingga mereka akan khawatir tentang potensi kesenjangan yang melebar antara tingkat ini dan harga di mana pasar diperdagangkan," katanya.
Patokan minyak mentah Brent telah naik lebih dari 25 persen sejak awal 2019 menjadi 65 dolar AS per barel. Tetapi harga bisa terhenti karena pelambatan ekonomi global menekan permintaan dan minyak AS membanjiri pasar, kata sebuah jajak pendapat terhadap para analis oleh Reuters.
Risiko Geopolitik Buruk
Pakta pemotongan produksi berakhir pada Minggu (30/6/2019). OPEC bertemu di Wina pada Senin ini diikuti dengan pembicaraan dengan Rusia dan sekutu lainnya, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, pada Selasa (2/7/2019).
Menteri Perminyakan Irak Thamer Ghadhban mengatakan pada Minggu (30/6/2019) bahwa ia mengharapkan kesepakatan akan diperpanjang enam hingga sembilan bulan, tetapi negaranya memiliki pikiran terbuka tentang masalah tersebut.
"Yang paling penting adalah mencapai pasar yang stabil dan menghindari volatilitas, mencoba melakukan sesuatu terhadap stok (overhanging) yang tinggi," kata Ghadhban kepada wartawan.
“Jadi saya mendukung sepenuhnya perpanjangan sampai akhir tahun. Saya tidak keberatan jika ada konsensus selama sembilan bulan,” tambahnya.
"Keputusan harus diambil dalam OPEC dan itulah yang akan terjadi."
Irak telah melampaui Iran sebagai produsen minyak terbesar kedua OPEC, dan ekspornya meningkat karena investasi oleh perusahaan-perusahaan besar Barat.
Ekspor Iran, sebaliknya, telah anjlok menjadi 0,3 juta barel per hari pada Juni dari sebanyak 2,5 juta barel per hari pada April 2018 karena sanksi baru Washington.
Sanksi tersebut menempatkan Iran di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan pada 2012, ketika Uni Eropa bergabung dengan sanksi AS terhadap Teheran, ekspor negara itu mencapai sekitar satu juta barel per hari. Minyak mewakili bagian terbesar dari pendapatan anggaran Iran.
Washington mengatakan ingin mengubah apa yang disebutnya rezim "korup" di Teheran. Iran mengecam sanksi itu sebagai ilegal dan mengatakan Gedung Putih dijalankan oleh orang-orang "keterbelakangan mental".
Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh belum berbicara dalam beberapa hari terakhir tentang pertemuan OPEC. Dia dijadwalkan di Wina pada Senin.
“Ketegangan yang memburuk antara AS dan Iran menambah potensi gejolak harga minyak yang bisa menjadi rumit bagi anggota OPEC untuk dikelola,” kata Ann-Louise Hittle, wakil presiden, minyak makro, di konsultan Wood Mackenzie.
"Risiko geopolitik berarti prospek pasokan semakin ketat, mengimbangi pelemahan moderat dalam pertumbuhan permintaan minyak sepanjang tahun ini," tambahnya.
Baca juga: Harga minyak naik tipis jelang pertemuan OPEC dan KTT G20
Baca juga: Pertemuan OPEC berakhir tanpa keputusan pengurangan produksi
Baca juga: Jelang pertemuan OPEC, minyak Brent naik tipis
Iran adalah satu-satunya negara OPEC utama yang belum berbicara secara terbuka tentang perlunya memperpanjang pengurangan produksi. Teheran yang pada masa lalu keberatan dengan kebijakan yang diajukan oleh saingan berat Arab Saudi, mengatakan Riyadh terlalu dekat dengan Washington.
Amerika Serikat bukan anggota OPEC, juga tidak berpartisipasi dalam pakta pasokan. Washington telah menuntut Riyadh memompa lebih banyak minyak untuk mengimbangi ekspor yang lebih rendah dari Iran setelah memberikan sanksi baru pada Teheran atas program nuklirnya.
OPEC dan sekutunya yang dipimpin oleh Rusia telah mengurangi produksi minyak sejak 2017 untuk mencegah penurunan harga di tengah melonjaknya produksi dari Amerika Serikat, yang telah menjadi produsen utama dunia tahun ini di depan Rusia dan Arab Saudi.
Kekhawatiran tentang melemahnya permintaan global sebagai akibat dari perselisihan perdagangan AS-China telah menambah tantangan yang dihadapi oleh 14 negara OPEC dalam beberapa bulan terakhir.
Presiden Rusia Vladimir Putin mengatakan pada Sabtu (29/6/2019) bahwa dia telah setuju dengan Arab Saudi untuk memperpanjang pengurangan produksi yang ada sebesar 1,2 juta barel per hari, atau 1,2 persen dari permintaan global, enam hingga sembilan bulan mendatang yaitu hingga Desember 2019 atau Maret 2020.
Menteri Energi Saudi Khalid al-Falih mengatakan kesepakatan itu kemungkinan besar akan diperpanjang sembilan bulan dan tidak ada pengurangan yang lebih dalam diperlukan.
"Ini adalah rollover dan itu terjadi," ujar Falih, yang negaranya adalah pemimpin de facto OPEC, kepada wartawan.
Warren Patterson, kepala strategi komoditas di bank Belanda ING, mengatakan OPEC akan lebih rugi dengan tidak memperpanjang kesepakatan.
"Ini turun sebagian besar ke harga impas minyak - Saudi memiliki harga impas sekitar 85 dolar AS per barel, sehingga mereka akan khawatir tentang potensi kesenjangan yang melebar antara tingkat ini dan harga di mana pasar diperdagangkan," katanya.
Patokan minyak mentah Brent telah naik lebih dari 25 persen sejak awal 2019 menjadi 65 dolar AS per barel. Tetapi harga bisa terhenti karena pelambatan ekonomi global menekan permintaan dan minyak AS membanjiri pasar, kata sebuah jajak pendapat terhadap para analis oleh Reuters.
Risiko Geopolitik Buruk
Pakta pemotongan produksi berakhir pada Minggu (30/6/2019). OPEC bertemu di Wina pada Senin ini diikuti dengan pembicaraan dengan Rusia dan sekutu lainnya, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+, pada Selasa (2/7/2019).
Menteri Perminyakan Irak Thamer Ghadhban mengatakan pada Minggu (30/6/2019) bahwa ia mengharapkan kesepakatan akan diperpanjang enam hingga sembilan bulan, tetapi negaranya memiliki pikiran terbuka tentang masalah tersebut.
"Yang paling penting adalah mencapai pasar yang stabil dan menghindari volatilitas, mencoba melakukan sesuatu terhadap stok (overhanging) yang tinggi," kata Ghadhban kepada wartawan.
“Jadi saya mendukung sepenuhnya perpanjangan sampai akhir tahun. Saya tidak keberatan jika ada konsensus selama sembilan bulan,” tambahnya.
"Keputusan harus diambil dalam OPEC dan itulah yang akan terjadi."
Irak telah melampaui Iran sebagai produsen minyak terbesar kedua OPEC, dan ekspornya meningkat karena investasi oleh perusahaan-perusahaan besar Barat.
Ekspor Iran, sebaliknya, telah anjlok menjadi 0,3 juta barel per hari pada Juni dari sebanyak 2,5 juta barel per hari pada April 2018 karena sanksi baru Washington.
Sanksi tersebut menempatkan Iran di bawah tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan pada 2012, ketika Uni Eropa bergabung dengan sanksi AS terhadap Teheran, ekspor negara itu mencapai sekitar satu juta barel per hari. Minyak mewakili bagian terbesar dari pendapatan anggaran Iran.
Washington mengatakan ingin mengubah apa yang disebutnya rezim "korup" di Teheran. Iran mengecam sanksi itu sebagai ilegal dan mengatakan Gedung Putih dijalankan oleh orang-orang "keterbelakangan mental".
Menteri Perminyakan Iran Bijan Zanganeh belum berbicara dalam beberapa hari terakhir tentang pertemuan OPEC. Dia dijadwalkan di Wina pada Senin.
“Ketegangan yang memburuk antara AS dan Iran menambah potensi gejolak harga minyak yang bisa menjadi rumit bagi anggota OPEC untuk dikelola,” kata Ann-Louise Hittle, wakil presiden, minyak makro, di konsultan Wood Mackenzie.
"Risiko geopolitik berarti prospek pasokan semakin ketat, mengimbangi pelemahan moderat dalam pertumbuhan permintaan minyak sepanjang tahun ini," tambahnya.
Baca juga: Harga minyak naik tipis jelang pertemuan OPEC dan KTT G20
Baca juga: Pertemuan OPEC berakhir tanpa keputusan pengurangan produksi
Baca juga: Jelang pertemuan OPEC, minyak Brent naik tipis
Penerjemah: Apep Suhendar
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: