Jakarta (ANTARA) - Sektor pertanian saat ini masih menjadi sendi utama perekonomian Indonesia. Setidaknya empat dari sepuluh komoditas ekspor andalan berasal dari produk pertanian, yakni karet, sawit, kakao dan kopi.

Joko Widodo, presiden terpilih periode 2019-2024, menilai sektor pertanian menjadi industri yang penting dan strategis, tidak hanya sebagai tulang punggung perekonomian, tetapi juga ketahanan pangan masyarakat Indonesia.

Selama periode kepemimpinannya sejak 2014, janji swasembada pangan memang belum terealisasi sempurna. Namun begitu, Indonesia juga harus siap menghadapi tantangan revolusi industri 4.0, di mana penguasaan teknologi menjadi krusial.

Semangat dan asa Jokowi untuk memodernisasi dan mendigitalisasi sektor pertanian sudah ditekankan dalam debat capres-cawapres beberapa waktu lalu. Ia berharap kesiapan petani dalam memasarkan produk pertaniannya ke dalam sebuah "marketplace".

"Skarang anak muda sudah mengembangkan ekosistem 'online'. Kita akan sambungkan dengan 'offline'. Itu juga untuk pertanian dan perikanan," kata Jokowi dalam debat capres-cawapres putara kelima.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menekankan pentingnya mengembangkan teknologi dan kemampuan wirausaha petani saat pascapanen agar memperoleh keuntungan sebanyaknya. Transaksi produk pertanian melalui situs marketplace bahkan dapat mengurangi rantai pasok sampai ke tingkat konsumen dan memperluas wilayah pemasaran.

Saat ini setidaknya sudah ada 5 marketplace yang bisa digunakan para petani untuk memasarkan hasil panennya secara online, yakni Agromaret, TaniHub, aplikasi Petani, Sayurbox dan LimaKilo.

Dari marketplace yang disebutkan di atas, Jokowi dalam debat capres juga pernah menyinggung kehadiran TaniHub, perusahaan rintisan (startup) yang didirikan pada 2015 sebagai layanan "on-demand" untuk pengiriman produk pertanian dari lahan hingga ke rumah tangga.

TaniHub merupakan salah satu lini bisnis yang dimiliki TaniGroup, perusahaan teknologi rintisan yang didirikan oleh Ivan Arie dan Pamitra Wineka. Melalui TaniHub, petani dapat langsung menjual produk pertaniannya dengan pembeli, baik individu maupun korporasi (supermarket, hypermarket, hotel, dan restoran).

Selain Tanihub, lini bisnis yang dikelola TaniGroup adalah TaniFund, sebuah crowdfunding platform yang menyediakan sarana investasi bagi masyarakat umum serta pembiayaan bagi kelompok tani yang ingin mengembangkan usahanya.

"Program ini menghubungkan petani yang kekurangan dana dengan publik, baik individu maupun institusi yang ingin mendanai program-program pertanian," kata Business Partner Lead TaniGroup Lutfia Aisya.

Menurut Lutfia, ada tiga faktor yang menghambat pertumbuhan industri pertanian di Indonesia, yakni perubahan konsumsi masyarakat, pola budidaya para petani yang masih tradisional dan tantangan distribusi hasil produksi pertanian.

Baca juga: Masuki era Industri 4.0, Kementan kembangkan layanan karantina digital
Baca juga: Di depan 500-an petani, Jokowi tekankan pentingnya digitalisasi pertanian


Kebanyakan petani melakukan budidaya tani yang tradisional dan belum mengikuti permintaan pasar sehingga selalu ada 'gap' antara ketersediaan dan permintaan barang.

Selain itu, sering kali petani harus melewati jalan curam dan tidak terjangkau oleh kota besar. Namun, lewat TaniHub, permintaan pasar dapat disesuaikan dengan sentra produksi terdekat.

Di sisi lain, Pengamat pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menilai pemanfaatan marketplace untuk mengurangi rantai pasok pertanian justru berpotensi menghadirkan "middleman" atau pedagang perantara yang mengambil keuntungan petani.

Pasalnya, petani yang memiliki fasilitas internet dan mengakses pasar daring sangatlah kecil atau berkisar 1 persen dari total petani di Indonesia.

Selain itu, proses penjualan produk pertanian secara daring memang selalu ada pihak perantara yang mengumpulkan produk-produk tersebut dari petani kemudian dipasarkan ke konsumen dengan margin yang menguntungkan mereka.

"Justru 'middleman' yang menampung produk-produk petani kemudian memasarkannya lewat online. Itu yang perlu jadi perhatian karena kenyataannya akses petani kecil di 'on farm' terhadap internet masih kecil," kata Dwi.



Modernisasi dari SDM hingga alsintan

Pada kenyataannya, jumlah di sektor pertanian mayoritas diisi oleh para petani senior yang tentunya masih harus menyesuaikan diri dalam perubahan teknologi termasuk akses terhadap internet.

Kementerian Pertanian melalui Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) menargetkan dapat mencetak 1 juta petani milenial yang nantinya dapat menjadi pengusaha atau agripreneur hingga tahun 2020.

"Target BPPSDMP untuk tahun 2019-2020, diarahkan membentuk 40 kelompok pengusaha muda atau agripreneur yang diharapkan bisa mencakup 1 juta pengusaha," kata Kepala Pusat Penyuluhan Pertanian BPPSDM Pertanian Siti Munifah.

BPPSDM Pertanian melakukan berbagai upaya untuk mencetak 1 juta agripreneur yang bertujuan meregenerasi sektor pertanian. Regenerasi pertanian dinilai penting lantaran kebutuhan pangan di masa depan akan semakin besar seiring laju pertumbuhan penduduk.

Sejak awal Januari 2019, Kementan telah meluncurkan program santri milenial. Program ini menggerakkan para santri untuk terjun dalam produktivitas pertanian dengan bantuan benih unggul dari pemerintah, seperti hewan ternak, unggas dan alat mesin pertanian (alsintan).

Baca juga: Peneliti apresiasi modernisasi alat pertanian untuk ketahanan pangan


Gerakan Petani Milenial ini dilakukan dengan pendekatan per kelompok yang terbagi dalam 40 ribu kelompok petani. Kelompok tani tersebut dibagi ke dalam zona kawasan jenis komoditas pertanian, antara lain tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan.

Selain dari santri milenial, Kementan juga memberikan bantuan modal usaha kepada mahasiswa pertanian maupun sarjana pertanian perguruan tinggi melalui program Penumbuhan Wirausahawan Muda Pertanian (PWMP).

"Bantuan modal stimulan ini untuk mengawali usaha bidang pertanian, khususnya bagi para 'fresh graduate' sehingga program 'start up' mereka bisa berkembang," kata Siti.

Upaya menarik milenial untuk terjun langsung menggarap lahan pertanian juga didorong dengan bantuan mekanisasi alat dan mesin pertanian (alsintan). Menteri Pertanian Andi Amran mengatakan pemberian alsintan dapat mengubah pola pikir calon petani muda bahwa bisnis pertanian dapat dilakukan secara modern.

"Kami ingin hadirnya petani milenial nanti bisa segera menjalankan digitalisasi. Jadi nanti garap tanahnya itu tidak lagi manual, sudah pakai remote control semua dari mekanisasi ini," kata Menteri Amran.

Mekanisasi alsintan juga terbukti menghemat biaya produksi, contohnya pengolahan tanah dengan cangkul membutuhkan tenaga kerja sebanyak 30-40 orang per hari dengan lama kerja 240-400 jam per hektar, dengan biaya mencapai Rp2 juta-Rp2,5 juta.

Namun, dengan mekanisasi menggunakan traktor, tenaga yang dibutuhkan hanya dua orang dengan waktu kerja 16 jam per hektar, dengan biaya hanya Rp900.000 hingga Rp1 juta.

Berdasarkan catatan Kementerian Pertanian (Kementan), pada periode 2015-2018 pemberian alsintan dengan beragam jenis telah dibagikan kepada petani dengan masing-masing berjumlah 157.493 unit pada 2015, 110.487 unit pada 2016, 321 ribu unit pada 2017 dan 80 ribu unit pada 2018.
Baca juga: CIPS ingatkan kebijakan pangan bukan hanya soal swasembada
Baca juga: Ekonom nilai tekan defisit lewat swasembada pangan dan energi populis