Seniman muda tampilkan Gambuh Budakeling di Pesta Kesenian Bali
30 Juni 2019 06:47 WIB
Kesenian Gambuh dari Desa Budakeling yang dibawakan oleh kaum remaja dan anak-anak dalam Pesta Kesenian Bali 2019, Sabtu (29/6/2019). (Antaranews Bali/Dok Disbud Bali/2019)
Denpasar (ANTARA) - Kesenian Gambuh sebagai salah satu drama tari tertua dari Desa Budakeling, Kabupaten Karangasem, ditampilkan oleh seniman-seniman muda dan anak-anak dalam ajang Pesta Kesenian Bali ke-41/2019 di Taman Budaya, Denpasar, sebagai tanda keberhasilan regenerasi seniman.
"Ini semua bukan hasil kerja membalikkan tangan dalam semalam. Sebaliknya kami telah mengawalinya sejak setahun lalu. Kami ajarkan tentang tari, tabuh, vokal, penghayatan peran dan semuanya," kata koordinator pementasan, Ida Wayan Oka Adnyana dari dusun Triwangsa, Desa Budakeling, di sela-sela pementasan tersebut, Sabtu malam.
Dalam pementasan kesenian Gambuh Anak-anak di Pesta Kesenian Bali ini, talenta-talenta muda dan kanak-kanak berbakat terlihat sudah mulai matang dan nyaris matang saat memerankan tokoh-tokoh utama dalam pementasan Gambuh di kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar.
Olah vokal, gerak tari dan penguasaan arena serta memainkan karakter tokoh, seolah bukan lagi masalah bagi talenta-talenta muda ini.
Oka Adnyana menceritakan persiapan sudah dilakukan sejak setahun lalu karena Gambuh itu drama tari yang memperhatikan bahasa, ucapan dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang semua itu cukup berat bagi sebagian besar orang apalagi anak-anak.
Alasan itu pula mengapa penggarapan Gambuh anak-anak ini mulai digarap jauh-jauh hari sejak setahun lalu setiap Sabtu malam dan Minggu pagi di Pesraman Bajra Jnana, desa Budakeling.
"Tiap minggu kami kumpulkan, kami latih, selama setahun prosesnya sampai sekarang," ucapnya.
Selama proses latihan ini tidak sekadar belajar vokal, tari, tabuh melainkan yang utama adalah menanamkan watak dan kecintaan pada leluhur.
"Kami dari awal itu mengubah watak anak-anak dari pesraman setiap minggu pagi. Pertama tiang (saya) ajarkan sastra. Sastra bali, membaca tulisan, menulis Bali. Kemudian ada juga pelajaran dharma gita yang ada petuah-petuah itu dan langsung dipraktikkan," ujarnya.
Dampaknya, sedikit demi sedikit orang tuanya merasakan ada perubahan, mereka menjadi rajin membantu orang tua dan rajin belajar.
Keberhasilan regenerasi Gambuh tak lepas lingkungan Desa Budakeling yang kuat di bidang nyastra dan berkesenian, sehingga Gambuh sebagai "induk" kesenian di Bali menjadi keseharian di Desa Budakeling.
"Di luar anak-anak juga ada Gambuh tua, Gambuh dewasa, karena ini turun-temurun," ucap Oka Adnyana yang dalam membina anak-anak selalu menekankan kecintaan pada budaya.
Pihaknya menanamkan bahwa dengan melestarikan kesenian Gambuh berarti kita sudah menghormati warisan budaya leluhur yang luar biasa. "Secara sedikit-demi sedikit mereka (anak-anak-red) bisa mengikuti," kata Oka Adnyana.
Baca juga: Teater Kuno Gambuh Bali Tampil di Polandia
Baca juga: Sembilan tari Bali jadi warisan budaya dunia
Baca juga: Rekonstruksi Arja Klasik Peliatan hadirkan kejayaan era 1940-an
"Ini semua bukan hasil kerja membalikkan tangan dalam semalam. Sebaliknya kami telah mengawalinya sejak setahun lalu. Kami ajarkan tentang tari, tabuh, vokal, penghayatan peran dan semuanya," kata koordinator pementasan, Ida Wayan Oka Adnyana dari dusun Triwangsa, Desa Budakeling, di sela-sela pementasan tersebut, Sabtu malam.
Dalam pementasan kesenian Gambuh Anak-anak di Pesta Kesenian Bali ini, talenta-talenta muda dan kanak-kanak berbakat terlihat sudah mulai matang dan nyaris matang saat memerankan tokoh-tokoh utama dalam pementasan Gambuh di kalangan Angsoka, Taman Budaya, Denpasar.
Olah vokal, gerak tari dan penguasaan arena serta memainkan karakter tokoh, seolah bukan lagi masalah bagi talenta-talenta muda ini.
Oka Adnyana menceritakan persiapan sudah dilakukan sejak setahun lalu karena Gambuh itu drama tari yang memperhatikan bahasa, ucapan dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang semua itu cukup berat bagi sebagian besar orang apalagi anak-anak.
Alasan itu pula mengapa penggarapan Gambuh anak-anak ini mulai digarap jauh-jauh hari sejak setahun lalu setiap Sabtu malam dan Minggu pagi di Pesraman Bajra Jnana, desa Budakeling.
"Tiap minggu kami kumpulkan, kami latih, selama setahun prosesnya sampai sekarang," ucapnya.
Selama proses latihan ini tidak sekadar belajar vokal, tari, tabuh melainkan yang utama adalah menanamkan watak dan kecintaan pada leluhur.
"Kami dari awal itu mengubah watak anak-anak dari pesraman setiap minggu pagi. Pertama tiang (saya) ajarkan sastra. Sastra bali, membaca tulisan, menulis Bali. Kemudian ada juga pelajaran dharma gita yang ada petuah-petuah itu dan langsung dipraktikkan," ujarnya.
Dampaknya, sedikit demi sedikit orang tuanya merasakan ada perubahan, mereka menjadi rajin membantu orang tua dan rajin belajar.
Keberhasilan regenerasi Gambuh tak lepas lingkungan Desa Budakeling yang kuat di bidang nyastra dan berkesenian, sehingga Gambuh sebagai "induk" kesenian di Bali menjadi keseharian di Desa Budakeling.
"Di luar anak-anak juga ada Gambuh tua, Gambuh dewasa, karena ini turun-temurun," ucap Oka Adnyana yang dalam membina anak-anak selalu menekankan kecintaan pada budaya.
Pihaknya menanamkan bahwa dengan melestarikan kesenian Gambuh berarti kita sudah menghormati warisan budaya leluhur yang luar biasa. "Secara sedikit-demi sedikit mereka (anak-anak-red) bisa mengikuti," kata Oka Adnyana.
Baca juga: Teater Kuno Gambuh Bali Tampil di Polandia
Baca juga: Sembilan tari Bali jadi warisan budaya dunia
Baca juga: Rekonstruksi Arja Klasik Peliatan hadirkan kejayaan era 1940-an
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2019
Tags: