Kupang (ANTARA) -
Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona mengatakan Partai Demokrat akan menjadi yang pertama meninggalkan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

"Saya kira, parpol yang akan keluar dari koalisi Prabowo, pertama adalah Demokrat karena sinyal politiknya sudah sangat jelas sejak adanya kunjungan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke kediaman Megawati, juga pertemuan dengan Jokowi sejak sebelum wafatnya Ibu Ani juga pascawafatnya Ibu Ani," kata Mikhael Bataona kepada Antara di Kupang, Sabtu.

Baca juga: Demokrat enggan terburu-buru tentukan sikap politik

Dia mengemukakan hal itu berkaitan dengan sikap politik parpol koalisi pendukung pasangan capres-cawapres nomor 02 Prabowo-Sandiaga pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Majelis hakim MK menolak seluruh gugatan yang dilayangkan oleh tim Badan Pemenangan Nasional paslon nomor 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melalui kuasa hukumnya dalam sidang putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Jakarta, Kamis (27/6).

Baca juga: Putusan MK menjadi rujukan PAN bersikap

"Kepastian soal perginya Demokrat ke koalisi Jokowi, saya kira sudah sangat jelas dan pasti terwujud, karena AHY membutuhkan panggung untuk Pilpres 2024," katanya.

Tanpa berada dalam kekuasaan dan punya sumber daya, menurut dia, bintang AHY bisa meredup sebelum Pilpres 2024.

Dia mengatakan, sebagai maestro politik dan ahli strategi, Susilo Bambang Yudhoyono sudah belajar dari situasi pasca-Pilpres 2014.

"Kini sudah saatnya Demokrat menggunakan momentum hubungan kedekatan dengan Jokowi juga silahturami AHY dan Ibas ke Megawati sebagai kunci masuk koalisi," katanya menjelaskan.

Dia menambahkan, parpol koalisi Prabowo-Sandi kedua yang akan meninggalkan koalisi adalah Partai Amanat Nasional (PAN).

"Kalau PAN saya kira mereka ini identik dengan manuver pragmatis dari Zulkilfi Hasan yang sejak tahun 2014, sudah pernah meninggalkan koalisi Prabowo demi mendapat kue kekuasaan dalam kabinet Jokowi," katanya.

Menurut dia, godaan ini sekarang sangat kuat untuk kembali dipraktikkan oleh Zulkilfi dan para pembantunya di PAN karena memang sikap mereka yang menolak berkoalisi dengan Jokowi pada Pilpres 2019, semuanya murni karena hitungan pragmatisme politik.

PAN yang awalnya punya warna partai tengah, kata dia, saat Pilpres 2019 sudah terlihat lebih kuat warnanya sebagai partai kanan.

"Jadi mereka hanya mau menjaga soliditas dukungan untuk lolos dalam aturan 'presidential threshold', tetapi sekarang, hal itu sudah tidak lagi penting," katanya.

Hal yang paling penting adalah mereka harus berada dalam kekuasaan untuk bisa mendapat manfaat ekonomi politik untuk Pilpres 2024.

"Itulah hitungan pragmatis yang akan dilakukan PAN karena mereka sudah berpengalaman mempraktikkan manuver politik jenis ini," kata dosen Ilmu Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia serta Ilmu Teori Kritis pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unwira Kupang itu.