Jakarta (ANTARA) - Pemerintah sejatinya akan terus mengeluarkan regulasi baru dengan tujuan kemaslahatan bangsa. Salah satunya Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).

Pemerintah pusat terus mendorong provinsi untuk segera menyelesaikan pembuatan RZWP3K secepat mungkin.

Beleid ini bertujuan untuk menentukan arah dari penggunaan sumber daya setiap satuan perencanaan disertai penetapan alokasi ruang pada kawasan perencanaan, mana yang boleh maupun tidak boleh dilakukan.

Ini menjadi instrumen penting agar konflik pemanfaatan ruang bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir serta memberi kepastian hukum bagi pengelola.

Baca juga: Perencanaan Perda Zonasi Pesisir harus lebih melibatkan nelayan

Tak heran Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Brahmantya Satyamurti Poerwadadi melakukan pendampingan dalam penyusunan RZWP3K agar sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 23/PERMEN-KP/2016 tentang Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Hasilnya tidak sia-sia, dari 34 provinsi di Indonesia sebanyak 21 provinsi sudah melengkapi dan melegalisasi dokumen RZWP3K menjadi peraturan daerah.

Mereka adalah Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, NTB, NTT, Sulawesi Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara.

Selain itu, saat ini satu provinsi telah dievaluasi Kemendagri, satu provinsi dalam proses pembahasan di DPRD dan 11 provinsi masih dalam proses penyelesaian dokumen RZWP3K.

“Insya Allah akhir tahun ini selesai target 34 provinsi. Ini tergantung niat kalau bisa selesai tahun ini sangat bagus,” kata Brahmantya saat ditemui di Jakarta, Senin.


RZWP3K Jakarta

Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati yang juga memfokuskan diri berkelana di Kepulauan Seribu turut memberikan pandangannya terkait rencana serupa di DKI Jakarta sesuai mandat UU 1 Tahun 2014.

Menurutnya, melalui RZWP3K seharusnya provinsi melakukan reorientasi terhadap penguasaan serta pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulauan Seribu sesuai dengan mandat putusan Mahkamah Konstitusi No. 3 Tahun 2010.

Baca juga: Pengamat apresiasi KKP libatkan KPK dalam tata ruang pesisir

Namun, faktanya regulasi itu untuk melanggengkan ketidakadilan penguasaan dan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Kabupaten Kepulaun Seribu justru akan melegitimasi kepemilikan pulau-pulau yang menyingkirkan kehidupan nelayan bahkan pemukiman nelayan itu sendiri.

“Kami melihat rancangannya, tak ada zona pemukiman nelayan, tetapi hanya pemukiman non nelayan. Jadi, pesisir sebenarnya buat siapa, nelayan segini banyak mau ditempatkan dimana,” kata Susan saat ditemui di acara diskusi publik Privatisasi Pulau-Pulau Kecil di Kepulauan Seribu DKI Jakarta, di Jakarta, Jumat.

Selain itu, pembatasan kawasan perikanan tangkap yang hanya dialokasikan di beberapa titik saja yakni perairan Kepulaun Seribu Utara, Kepulauan Seribu Barat, sebelah barat Pulau Pari dan Pulau Putri bagian timur. Adapun kawasan lainnya untuk pariwisata, konservasi, dan zona lainnya.

Padahal di Kecamatan Kepulauan Seribu terdapat 110 pulau-pulau kecil dan seharusnya rakyat bebas menggunakannya tanpa dibatasi sesuai UUD 1945 pasal 33 ayat 3 berisi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.


Harapan warga

Sulaiman, warga Kecamatan Kepulauan Seribu Kelurahan Kepulauan Pari menilai rancangan zonasi perairan tersebut tidak diperuntukkan untuk nelayan, tetapi 90 persen untuk pariwisata.

Dampak langsungnya wilayah tangkap makin kecil, contohnya, sebelumnya ia bisa melaut hingga 30 mil ke arah barat dan 20 mil ke arah timur dari Pulau Pari tapi kini sudah berubah sejak munculnya rencana zonasi.

“Di RZ (Rencana Zonasi) sekitar 20.000 hektar, sementara nelayan tidak hanya menangkap nelayan ikan Pelagis dan ikan Demersal yang jalan dan migrasi ke arah lain. Sedangkan wilayah tangkap kita dibatasi, padahal kita juga menangkap ikan yang dekat terumbu karang dan mangrove (pulau lain),” kata Sulaiman.

Akses juga tidak sebebas dulu karena beberapa pulau hanya dihuni oleh penjaganya saja, kini sudah berubah menjadi daerah wisata karena sebagian besar pulau-pulau itu beralih menjadi pulau pribadi atau perusahaan tertentu.

Baca juga: Daerah diminta prioritaskan regulasi zonasi pesisir

Dampaknya, ia tidak diizinkan mendekati wilayah pulau-pulau tersebut, meski di sana banyak ikan yang bisa ditangkap untuk bekal melanjutkan hidup.

“Jangankan untuk mengakses masuk, melintas saja dikejar dan dipepet oleh polisi perairan yang pakai boat dan mereka membawa senjata laras panjang,” ujar Sulaiman.

Menurut Sulaiman, sejumlah pulau yang tidak bisa didekati itu terdapat di bagian selatan Kecamatan Kepulauan Seribu, seperti Pulau Bidadari, Pulau Tengah, Pulau Burung dan Pulau Tikus yang tidak bisa diakses sama sekali.

Sedangkan bagian utara seperti Pulau Kelapa dan Pulau Pramuka akses pulau bergantung kepada penjaganya. Jika yang menjaga warga, nelayan bisa mendekat namun jika bukan, maka nelayan harus rela menjauh meski mesin atau perahunya bocor.

Karenanya Sulaiman dan warga Pulau Pari, mempertanyakan nasibnya sebagai rakyat Indonesia dan haknya sebagai nelayan.

“Nelayan tidak hanya butuh laut, laut hanya 'Bapak' dan 'Ibu' kita adalah daratan atau pulau. Mencari nafkah ke Bapak tapi perlindungan ke pulau, kena badai kita berlindung ke Ibu. Tapi Bapak kita hanya sepotong dan Ibu juga tidak diakui. Sebenarnya kita anak siapa,” ucapnya sambil tertawa sinis.


Solusi

Sulaiman sadar dirinya tidak mungkin melawan kehendak penguasa negeri, namun bersama warga Kepulauan Seribu lain berharap pemerintah tidak hanya mendahulukan kepentingan segelintir orang dan mengabaikan haknya sebagai nelayan yang bebas melaut di wilayahnya sendiri.

Baca juga: KKP optimistis seluruh provinsi tetapkan perda zonasi pesisir

Sedangkan menurut Sekjen Kiara Susan Herawati pemerintah harus melibatkan kelompok nelayan agar ada ‘aura positif’ dari regulasi itu karena nelayan adalah aktor utama wilayah pesisir. Selayaknya mereka bukan hanya dilibatkan dalam sosialisasi setelah rancangan dibuat.

“Penyusunannya akan beda, jika disusun masyarakat, masyarakat yang berangkat (dari pulau) dan juga menyusun,” kata Susan.

Jangkar utamanya seharusnya berlandaskan putusan MK No. 3 Tahun 2010, salah satunya menegaskan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki hak untuk melintas dan mengakses laut serta mendapatkan manfaat dari sumber daya kelautan dan perikanan.