Sikap tidak membakar saat kemarau cegah Karhutla
28 Juni 2019 15:01 WIB
Sekretaris Pusat Studi Bencana (PSB) IPB Dr Perdinan (kiri) dan Ketua PSB IPB Dr Yonvitner foto bersama dalam kunjungan kerja di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. (ANTARA/HO/Dok. Perdinan)
Jakarta (ANTARA) - Langkah sederhana mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla adalah tidak membakar di musim kemarau, demikian disampaikan Sekretaris Pusat Studi Bencana (PSB) IPB Dr Perdinan.
"Kemarau panjang membuat lingkungan menjadi kondusif untuk kebakaran," kata Perdinan kepada ANTARA saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Perdinan menjelaskan kondisi kondusif yang dimaksud adalah ketika kemarau, udara kering membuat api sangat mudah membesar. "Jadi kalau terjadi kabut asap karena kebakaran lahan jangan salahkan kemarau. Kebakaran bisa dicegah asal tidak ada yang membakar," kata Perdinan.
Solusi lain mencegah kebakaran hutan adalah mengubah ekosistem dengan memperbanyak luas hutan, tidak hanya luas kawasan tetapi tutupan kanopi.
Hutan yang kurang tutupan kanopinya (daunnya) akan mudah terbakar. Tutupan kanopi yang dimaksudkan adalah hutan yang hijau, benar-benar ditumbuhi pohon dengan daun yang lebat. "Hutan yang mudah terbakar itu karena kanopinya tidak cukup. Kawasan hutan sekarang tidak ada kanopinya, tidak ada vegetasinya," katanya.
Perdinan menambahkan kawasan hutan harus memiliki 80 persen kanopi agar hutan benar-benar hijau dan tidak mudah terbakar.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumnya memprediksi musim kemarau tahun ini akan lebih kering dibanding tahun sebelumnya. Sehingga masyarakat diimbau untuk waspada kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan.
Musim kemarau telah terjadi di wilayah Jawa. Puncak musim kemarau diperkirakan pada bulan Juli-Agustus 2019. Begitu juga untuk wilayah NTT, NTB, dan Lampung.
Sementara itu kebakaran lahan kian marak terjadi di Palangka Raya. BPBD Kota Palangka raya mengatakan indikasi awal ada unsur kesengajaan. Luas lahan yang terbakar mencapai empat hektare.
Baca juga: Kalimantan Tengah kerahkan 750 personel untuk cegah kebakaran hutan
Baca juga: Kebakaran lahan mulai marak terjadi di Palangka Raya
"Kemarau panjang membuat lingkungan menjadi kondusif untuk kebakaran," kata Perdinan kepada ANTARA saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Perdinan menjelaskan kondisi kondusif yang dimaksud adalah ketika kemarau, udara kering membuat api sangat mudah membesar. "Jadi kalau terjadi kabut asap karena kebakaran lahan jangan salahkan kemarau. Kebakaran bisa dicegah asal tidak ada yang membakar," kata Perdinan.
Solusi lain mencegah kebakaran hutan adalah mengubah ekosistem dengan memperbanyak luas hutan, tidak hanya luas kawasan tetapi tutupan kanopi.
Hutan yang kurang tutupan kanopinya (daunnya) akan mudah terbakar. Tutupan kanopi yang dimaksudkan adalah hutan yang hijau, benar-benar ditumbuhi pohon dengan daun yang lebat. "Hutan yang mudah terbakar itu karena kanopinya tidak cukup. Kawasan hutan sekarang tidak ada kanopinya, tidak ada vegetasinya," katanya.
Perdinan menambahkan kawasan hutan harus memiliki 80 persen kanopi agar hutan benar-benar hijau dan tidak mudah terbakar.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebelumnya memprediksi musim kemarau tahun ini akan lebih kering dibanding tahun sebelumnya. Sehingga masyarakat diimbau untuk waspada kekeringan dan kebakaran hutan serta lahan.
Musim kemarau telah terjadi di wilayah Jawa. Puncak musim kemarau diperkirakan pada bulan Juli-Agustus 2019. Begitu juga untuk wilayah NTT, NTB, dan Lampung.
Sementara itu kebakaran lahan kian marak terjadi di Palangka Raya. BPBD Kota Palangka raya mengatakan indikasi awal ada unsur kesengajaan. Luas lahan yang terbakar mencapai empat hektare.
Baca juga: Kalimantan Tengah kerahkan 750 personel untuk cegah kebakaran hutan
Baca juga: Kebakaran lahan mulai marak terjadi di Palangka Raya
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: