Pengamat : pengguna media sosial target pengedar narkoba
27 Juni 2019 19:41 WIB
Pengamat sosial Universitas Indonesia Devie Rahmawati saat ditemui di Bogor, Rabu (26/6/2019) mengatakan media sosial pintu masuk peredaran narkoba. ANTARA/Laily Rahmawaty (Laily Rahmawaty)
Jakarta (ANTARA) - Kehidupan sosial masyarakat modern dengan mengunggah segala aktivitasnya di media sosial secara tidak langsung memberikan ruang bagi para pengedar narkoba untuk menyasar targetnya, kata pengamat sosial dari Universitas Indonesia Devie Rahmawati.
"Ketika kita terbiasa berkomunikasi di dunia digital di mana semua tentang diri kita diungkapkan di dunia digital, para pebisnis (narkoba) dengan mudah melakukan profiling orang-orang yang akan menjadi targetnya," kata Devie kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (27/6).
Ia mengatakan para pebisnis haram tersebut menyasar orang-orang yang lagi sedih, galau dan membutuhkan teman sebagai target empuknya. Media sosial memudahkan orang untuk mengenal kepribadian orang lain dan mengetahui karakter seseorang seperti apa.
"Ini berbahaya, pedagang (narkoba) ini baca, ini orang yang lagi suntuk, galau, karena pengguna medsos itu menampilkannya," kata Devie.
Devie mengingatkan bahwa penyebaran narkoba bukanlah orang asing, tetapi justru orang terdekat dari si pengguna.
Narkoba menyasar semua kalangan tidak hanya artis, ibu rumah tangga, dosen, aparatur sipil negara bahkan pelajar. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, sasaran utamanya adalah mereka yang masih dalam usia produktif.
Baca juga: Pengamat : Abai awasi anak orang tua perlu diberi sanksi
"Kenapa? karena mereka punya uang, mereka bekerja, untuk mengonsumsi narkoba butuh biaya," katanya.
Untuk mencegah itu semua, lanjut Devie, yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah melakukan 'diet gadget'.
Hasil penelitian mengungkapkan waktu paling lama bagi seseorang untuk tidak melihat gadgetnya adalah tujuh menit, lebih dari itu sudah gelisah. Ada tidak ada pesan yang masuk ke ponsel, seseorang akan selalu melihat ke layar telepon pintarnya.
"Kayak diet makanan, bukan berarti tidak boleh makan. Pilihnya apa yang mau di makan, berapa jumlahnya. Artinya, kamu pilih apa yang kamu baca, dan berapa lama waktunya," kata Devie.
Setiap tanggal 26 Juni diperingati sebagai hari anti narkoba internasional (HANI). Pemerintah Republik Indonesia gencar melakukan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di segala lini.
Peringatan HANI 2019 yang digelar Rabu (26/6) dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, mengutamakan pada pendekatan generasi muda agar meningkatkan kewaspadaan penyalahgunaan narkoba.
World Drugs Report tahun 2018, yang diterbitkan United Nations Office on Drugs and Crime (UNDC), melaporkan sebanyak 275 juta penduduk dunia pernah mengonsumsi narkoba.
Di Indonesia, BNN mencatat kasus penyalahgunaan narkoba di 2017 menjerat 3.376.115 orang dengan rentan usia 10-59 tahun. Sementara di 2018, jumlah remaja pengguna narkoba di 13 ribu ibu kota provinsi mencapai 2,29 juta orang.
Baca juga: Pengamat sebut motif pasutri Tasikmalaya karena ekonomi
"Ketika kita terbiasa berkomunikasi di dunia digital di mana semua tentang diri kita diungkapkan di dunia digital, para pebisnis (narkoba) dengan mudah melakukan profiling orang-orang yang akan menjadi targetnya," kata Devie kepada ANTARA di Jakarta, Kamis (27/6).
Ia mengatakan para pebisnis haram tersebut menyasar orang-orang yang lagi sedih, galau dan membutuhkan teman sebagai target empuknya. Media sosial memudahkan orang untuk mengenal kepribadian orang lain dan mengetahui karakter seseorang seperti apa.
"Ini berbahaya, pedagang (narkoba) ini baca, ini orang yang lagi suntuk, galau, karena pengguna medsos itu menampilkannya," kata Devie.
Devie mengingatkan bahwa penyebaran narkoba bukanlah orang asing, tetapi justru orang terdekat dari si pengguna.
Narkoba menyasar semua kalangan tidak hanya artis, ibu rumah tangga, dosen, aparatur sipil negara bahkan pelajar. Dan yang lebih mengkhawatirkan lagi, sasaran utamanya adalah mereka yang masih dalam usia produktif.
Baca juga: Pengamat : Abai awasi anak orang tua perlu diberi sanksi
"Kenapa? karena mereka punya uang, mereka bekerja, untuk mengonsumsi narkoba butuh biaya," katanya.
Untuk mencegah itu semua, lanjut Devie, yang perlu dilakukan oleh masyarakat adalah melakukan 'diet gadget'.
Hasil penelitian mengungkapkan waktu paling lama bagi seseorang untuk tidak melihat gadgetnya adalah tujuh menit, lebih dari itu sudah gelisah. Ada tidak ada pesan yang masuk ke ponsel, seseorang akan selalu melihat ke layar telepon pintarnya.
"Kayak diet makanan, bukan berarti tidak boleh makan. Pilihnya apa yang mau di makan, berapa jumlahnya. Artinya, kamu pilih apa yang kamu baca, dan berapa lama waktunya," kata Devie.
Setiap tanggal 26 Juni diperingati sebagai hari anti narkoba internasional (HANI). Pemerintah Republik Indonesia gencar melakukan pemberantasan penyalahgunaan narkotika dan obat-obatan terlarang di segala lini.
Peringatan HANI 2019 yang digelar Rabu (26/6) dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla di Jakarta, mengutamakan pada pendekatan generasi muda agar meningkatkan kewaspadaan penyalahgunaan narkoba.
World Drugs Report tahun 2018, yang diterbitkan United Nations Office on Drugs and Crime (UNDC), melaporkan sebanyak 275 juta penduduk dunia pernah mengonsumsi narkoba.
Di Indonesia, BNN mencatat kasus penyalahgunaan narkoba di 2017 menjerat 3.376.115 orang dengan rentan usia 10-59 tahun. Sementara di 2018, jumlah remaja pengguna narkoba di 13 ribu ibu kota provinsi mencapai 2,29 juta orang.
Baca juga: Pengamat sebut motif pasutri Tasikmalaya karena ekonomi
Pewarta: Laily Rahmawaty
Editor: Ridwan Chaidir
Copyright © ANTARA 2019
Tags: