Kementerian PPPA cegah dan layani anak terjerat radikalisme
27 Juni 2019 10:37 WIB
Ilustrasi: Dua siswi membaca buku "Kutemukan Makna Jihad" saat sosialisasi anti terorisme pada peringatan 7 tahun tragedi bom Bali II di Pantai Jimbaran, Badung, Bali, Senin (1/10). Puluhan siswa SMP, SMA dan sejumlah guru mengadakan dialog dengan tokoh agama, ulama dan pakar terorisme untuk mengingatkan kembali makna Pancasila sekaligus untuk menangkal sikap radikalisme sejak dini. (ANTARA/Nyoman Budhian) (ANTARA FOTO)
Ternate (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Pemerintah Provinsi Maluku Utara (Malut) menggelar Pertemuan Forum Koordinasi tentang perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme di Kota Ternate.
"Pertemuan ini bertujuan untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam menangani upaya perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme," kata Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi, Hasan di Ternate, Kamis.
Tindak pidana terorisme yang melibatkan anak di Indonesia menjadi fenomena memprihatinkan yang mengancam tumbuh kembang anak, baik dari sisi kehidupan masyarakat, kepribadian, pemahaman agama, serta nasionalisme, ujarnya.
Hasan menambahkan bahwa anak banyak terlibat dalam tindak pidana terorisme karena dibujuk, dirayu, didoktrin, dan diajarkan untuk melakukan tindakan radikal serta terorisme oleh orang terdekat, seperti tetangga, guru, teman bermain, bahkan mirisnya oleh oknum orang tua.
Ia mengatakan Dua faktor penyebab munculnya paham radikalisme dan tindak pidana terorisme, yaitu faktor internal, seperti minimnya pemahaman anak tentang agama, wawasan kebangsaan, jenis kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi anak, sedangkan untuk faktor eksternal berupa keluarga, lingkungan, media, kemiskinan, pendidikan.
"Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sebanyak 500 orang tua yang berada dalam lembaga permasyarakatan karena terlibat tindak pidana terorisme, 1.800 anak dari pelaku terorisme tersebut mengalami stigmatisasi dan pelabelan, berupa pengucilan, diskriminasi, dilarang bergaul, bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah. Umumnya mereka mengalami trauma sehingga perlu mendapat pembinaan, pendampingan dan pemulihan," ujar Hasan.
Kementerian PPPA juga mengharapkan dengan adanya kebijakan tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Terorisme ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku Utara dapat mengoordinasikan dengan baik bersama organisasi perangkat daerah (OPD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Baca juga: Anak terpapar radikalisme di Kalteng akan diberi pendampingan
Baca juga: BNPT: Pelibatan sesama anak muda lebih efektif cegah radikalisme
"Pertemuan ini bertujuan untuk memfasilitasi pemerintah daerah dalam menangani upaya perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme," kata Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum dan Stigmatisasi, Hasan di Ternate, Kamis.
Tindak pidana terorisme yang melibatkan anak di Indonesia menjadi fenomena memprihatinkan yang mengancam tumbuh kembang anak, baik dari sisi kehidupan masyarakat, kepribadian, pemahaman agama, serta nasionalisme, ujarnya.
Hasan menambahkan bahwa anak banyak terlibat dalam tindak pidana terorisme karena dibujuk, dirayu, didoktrin, dan diajarkan untuk melakukan tindakan radikal serta terorisme oleh orang terdekat, seperti tetangga, guru, teman bermain, bahkan mirisnya oleh oknum orang tua.
Ia mengatakan Dua faktor penyebab munculnya paham radikalisme dan tindak pidana terorisme, yaitu faktor internal, seperti minimnya pemahaman anak tentang agama, wawasan kebangsaan, jenis kelamin, umur, intelegensi, dan kematangan emosi anak, sedangkan untuk faktor eksternal berupa keluarga, lingkungan, media, kemiskinan, pendidikan.
"Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada sebanyak 500 orang tua yang berada dalam lembaga permasyarakatan karena terlibat tindak pidana terorisme, 1.800 anak dari pelaku terorisme tersebut mengalami stigmatisasi dan pelabelan, berupa pengucilan, diskriminasi, dilarang bergaul, bahkan ada yang dikeluarkan dari sekolah. Umumnya mereka mengalami trauma sehingga perlu mendapat pembinaan, pendampingan dan pemulihan," ujar Hasan.
Kementerian PPPA juga mengharapkan dengan adanya kebijakan tentang Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Terorisme ini, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku Utara dapat mengoordinasikan dengan baik bersama organisasi perangkat daerah (OPD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Baca juga: Anak terpapar radikalisme di Kalteng akan diberi pendampingan
Baca juga: BNPT: Pelibatan sesama anak muda lebih efektif cegah radikalisme
Pewarta: Abdul Fatah
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: