Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi menilai perlu adanya kajian mendalam terkait penerapan O-Bahn sebagai alternatif angkutan umum di kota-kota Indonesia.

“Implementasinya memerlukan kajian mendalam sesuai rencana induk dan karakteristik kota-kota besar di Indonesia,” katanya di Jakarta, Rabu.

Konsep O-Bahn yaitu jalur bus (busway) berpemandu yang merupakan bagian dari sistem transit bus cepat dengan memadukan konsep bus rapid transit (BRT) dan light rail transit (LRT) dalam satu jalur yang sama.

Bus ini memiliki roda pandu yang berada di samping ban depan bus.

Roda pandu ini menyatu dengan batang kemudi roda depan, sehingga ketika bus memasuki jalur O-Bahn, sopir tak perlu lagi mengendalikan arah bus karena roda pandu akan mengarahkan bus sesuai dengan arah rel pandu serta mencegah bus terperosok ke celah yang ada di jalur.

Sistem ini pertama kali diterapkan di Kota Essen, Jerman.

“Dalam pembangunan BRT yang ada di ranah kami Ditjen Hubdat, dari segi pemanfaatan dan keberlanjutannya ada kota-kota yang cukup bagus dan mempunyai komitmen baik anggarannya maupun pemerintah daerahnya,” katanya.

Namun, lanjut dia, pemerintah pusat akan mengendalikan saja dan tidak mempermasalahkan jumlah penumpangnya.

“Atau dalam sehari harus mengangkut berapa kali yang terpenting pemerintah menyediakan aksesibilitas dan konektivitas dalam transportasi,” ujarnya.

Kelebihan dari sistem transportasi O-Bahn ini yaitu, pertama bus terpandu tersebut tetap dapat keluar dari jalur khususnya dan beroperasi seperti bus biasa.

“Apabila ia bergerak di jalurnya, maka sifat pengoperasiannya seperti kereta rel, jadi bus terpandu dapat dianggap sebagai kombinasi bus dengan trem,” kata Budi.

Kedua, lebar perkerasan jalur khusus bus terpandu yang selebar badan bus kurang lebih 200 cm, sedangkan lebar jalur lalu lintas di jalan berkisar antara 300-350 cm.

Ketiga, sarananya (moda angkutannya) berupa bus biasa hanya diberi tambahan roda horizontal yang dapat dilipat pada saat bus beroperasi di jalan umum.

Roda horizontal berfungsi sebagai pemandu pada saat bus beroperasi di jalur khusus sehingga kemudi bus tidak difungsikan dan pengemudi hanya mengatur kecepatan kendaraan saja.

Keempat, selain dapat menggunakan bus gandeng, moda angkutan ini dapat menggandeng dua atau tiga bus biasa atau dua bus gandeng menjadi satu rangkaian sehingga tidak ada lagi jarak (headway). Dua atau tiga bus berfungsi seperti trem.

Kelebihan ini memberi keuntungan tambahan karena penyediaan jasa pada jam sibuk hanya perlu menambahkan bus sehingga tidak perlu menambah pengemudi.

“Kalau diaplikasikan di Indonesia, kita lihat bagaimana karakter, kapasitas, dan geografis Indonesia, ini cocok untuk kota- kota yang sudah aglomerasi seperti Yogyakarta karena sudah menyatu dengan Klaten, Magelang, juga Purworejo,” katanya.

Dirjen menambahkan konsep O-Bahn cocok diimplementasikan di pinggiran kota bukan pusat kota seperti Jakarta karena sudah banyak jenis transportasi.

“Namun karena kita ingin memperlebar kekuatan transportasi sampai ke luar saya rasa mungkin tidak di Jakarta. Kalau melihat negara- negara yang sudah menerapkan O-Bahn kalau kita lihat ada di negara-negara yang populasinya berkisar 2-3 juta penduduk, bahkan ada juga yang di bawah 1 juta penduduk,” tambah Dirjen Budi.

Beberapa contoh negara yang telah menerapkan sistem O-Bahn (guided bus), antara lain Jerman yakni Essen (populasi 585.000 jiwa) dan Mannheim (populasi 311.342 jiwa)

Kemudian, Inggris di Birmingham (populasi 1.001.200 jiwa) dan Cambridge (populasi 123.900 jiwa), di Australia ada Adelaide (populasi 1.200.000 jiwa) dan Jepang: Nagoya (populasi 2.296.000 jiwa).

Baca juga: Kemenhub: O-Bahn lebih mahal 20 persen dari BRT
Baca juga: Kemenhub kaji transportasi bus berjalur kereta O-Bahn
Baca juga: Kemenhub siapkan skema pembelian layanan bus pada 2020