Harga ayam jatuh, asosiasi desak pemerintah pembenahan konkret di hulu
25 Juni 2019 21:16 WIB
Illustrasi: Peternak memberikan pakan pada ayam boiler di Kampung Cipedes, Desa Cipanjalu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. ANTARA/Raisan Al Faris.
Jakarta (ANTARA) - Sejumlah asosiasi peternak ayam menginginkan agar pemerintah melakukan pembenahan dengan konkret di hulu dalam rangka mengatasi kelebihan stok yang ditengarai menjadi penyebab utama menurunnya harga ayam.
"Sebenarnya sekarang sudah ada yang mengurangi, tapi tidak semua. Semestinya ada peraturan menteri yang mendasari kebijakan itu supaya lebih efektif. Kalau seperti ini cuma memberi harapan palsu saja," ujar Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut Singgih, kebijakan yang telah ditetapkan di hilir itu tidak akan berjalan, jika kondisi dan kebijakan di hulu tidak dibenahi secara serius.
Singgih mengakui Kementerian Pertanian (Kementan) sudah mengambil sikap dengan mengeluarkan instruksi untuk memangkas jumlah anak ayam (day old chicken/DOC) selama periode 24 Juni hingga 23 Juli mendatang. Pada masa tersebut, Kementan meminta pelaku usaha menarik 30 persen telur yang siap menetas.
Namun, menurut Singgih, sejak efektif per 24 Juni lalu, kebijakan tersebut dinilai belum terasa realisasinya di lapangan.
"Ini bisa dilihat dari harga jual ayam di beberapa daerah sentra sempat menyentuh Rp8.000 per kilogram, padahal biaya produksi yang dibutuhkan mencapai Rp18.500 per kilogram. Anehnya, ketika harga di peternak merosot tajam, harga jual ayam di pasar atau di tingkat konsumen tetap tinggi yakni berkisar Rp35.000 per kilogram. Masyarakat sebagai konsumen akhirnya juga ikut dirugikan karena membeli dengan harga tinggi," ungkapnya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Peternak Layer Nasional, Ki Musbar Mesdi mengatakan anjloknya harga ayam di tingkat peternak telah menyebabkan kerugian besar, bahkan tidak sedikit peternak rakyat yang gulung tikar.
"(Anjloknya harga ayam) Bukan hanya mengancam, tapi sudah buat mereka gulung tikar. Para peternak sakit secara fisik, stres mikirin utang ratusan juta kerugiannya," ujarnya.
Baca juga: Terancam bangkrut, peternak di Blitar ini obral ayam potong
Secara terpisah, pakar peternakan dari UGM Bambang Suwignyo mengatakan masalah harga sangat rendah ini berawal dari tidak adanya data yang riil dan akurat mengenai pasokan dan permintaan ayam di dalam negeri.
Menurut Bambang, kalaupun perusahaan besar memiliki data produksi dan penjualan, namun data-data itu belum tentu bisa diakses publik, atau bahkan sulit diakses pemerintah.
"Data yang diketahui itu peredaran ayam hidup di Indonesia sekitar 50 juta ekor per pekan," ucapnya. Ia menambahkan jika data sudah akurat, maka masalah ini harus diatasi mulai di hulu oleh kementerian terkait. Tanpa data yang akurat, lanjut dia, produksi pun tidak dilakukan dengan dasar yang jelas.
Pada sarana produksi, kata Bambang, tanggung jawabnya ada di Kementan karena terkait antara lain pakan, DOC, dan bibit.
Sedangkan terkait harga, maka kewenangannya ada di Kementerian Perdagangan yang sudah mengeluarkan Peraturan Mendag Nomor 96 Tahun 2018 yang mengatur tentang harga acuan dari peternak.
Baca juga: Pinsar keluhkan kerugian para peternak ayam
"Sebenarnya sekarang sudah ada yang mengurangi, tapi tidak semua. Semestinya ada peraturan menteri yang mendasari kebijakan itu supaya lebih efektif. Kalau seperti ini cuma memberi harapan palsu saja," ujar Ketua Umum Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Singgih Januratmoko dalam pernyataannya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut Singgih, kebijakan yang telah ditetapkan di hilir itu tidak akan berjalan, jika kondisi dan kebijakan di hulu tidak dibenahi secara serius.
Singgih mengakui Kementerian Pertanian (Kementan) sudah mengambil sikap dengan mengeluarkan instruksi untuk memangkas jumlah anak ayam (day old chicken/DOC) selama periode 24 Juni hingga 23 Juli mendatang. Pada masa tersebut, Kementan meminta pelaku usaha menarik 30 persen telur yang siap menetas.
Namun, menurut Singgih, sejak efektif per 24 Juni lalu, kebijakan tersebut dinilai belum terasa realisasinya di lapangan.
"Ini bisa dilihat dari harga jual ayam di beberapa daerah sentra sempat menyentuh Rp8.000 per kilogram, padahal biaya produksi yang dibutuhkan mencapai Rp18.500 per kilogram. Anehnya, ketika harga di peternak merosot tajam, harga jual ayam di pasar atau di tingkat konsumen tetap tinggi yakni berkisar Rp35.000 per kilogram. Masyarakat sebagai konsumen akhirnya juga ikut dirugikan karena membeli dengan harga tinggi," ungkapnya.
Sementara itu Ketua Asosiasi Peternak Layer Nasional, Ki Musbar Mesdi mengatakan anjloknya harga ayam di tingkat peternak telah menyebabkan kerugian besar, bahkan tidak sedikit peternak rakyat yang gulung tikar.
"(Anjloknya harga ayam) Bukan hanya mengancam, tapi sudah buat mereka gulung tikar. Para peternak sakit secara fisik, stres mikirin utang ratusan juta kerugiannya," ujarnya.
Baca juga: Terancam bangkrut, peternak di Blitar ini obral ayam potong
Secara terpisah, pakar peternakan dari UGM Bambang Suwignyo mengatakan masalah harga sangat rendah ini berawal dari tidak adanya data yang riil dan akurat mengenai pasokan dan permintaan ayam di dalam negeri.
Menurut Bambang, kalaupun perusahaan besar memiliki data produksi dan penjualan, namun data-data itu belum tentu bisa diakses publik, atau bahkan sulit diakses pemerintah.
"Data yang diketahui itu peredaran ayam hidup di Indonesia sekitar 50 juta ekor per pekan," ucapnya. Ia menambahkan jika data sudah akurat, maka masalah ini harus diatasi mulai di hulu oleh kementerian terkait. Tanpa data yang akurat, lanjut dia, produksi pun tidak dilakukan dengan dasar yang jelas.
Pada sarana produksi, kata Bambang, tanggung jawabnya ada di Kementan karena terkait antara lain pakan, DOC, dan bibit.
Sedangkan terkait harga, maka kewenangannya ada di Kementerian Perdagangan yang sudah mengeluarkan Peraturan Mendag Nomor 96 Tahun 2018 yang mengatur tentang harga acuan dari peternak.
Baca juga: Pinsar keluhkan kerugian para peternak ayam
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: