KSPI minta revisi UU Ketenagakerjaan ditunda
25 Juni 2019 18:37 WIB
Pekerja pabrik rokok menghitung uang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran saat pembagian di Kudus, Jawa Tengah, Selasa (21/5/2019). Sebanyak 47.306 pekerja rokok di wilayah itu menerima uang THR lebaran guna membantu pekerja dalam memenuhi kebutuhan keluarga selama Ramadhan dan Lebaran. ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho/pras.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Obon Tabroni meminta pemerintah menunda revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
"Persoalan ketenagakerjaan bukan persoalan sepele. Sebab akan berdampak pada sekitar 80 juta buruh formal di Indonesia. Karena itu butuh kajian yang mendalam," ujar Obon melalui siaran pers, Selasa.
Presiden Joko Widodo telah rapat koordinasi dengan pihak terkait untuk menindaklanjuti usulan pengusaha untuk merevisi UU Ketenagakerjaan.
Namun Obon khawatir revisi tersebut hanya akan mengakomodasi kepentingan pengusaha dan mengabaikan kepentingan pekerja.
"Tidak akan maksimal dalam waktu tiga bulan undang-undang tersebut disahkan. Butuh pengkajian yang lama kalau ingin hasil maksimal," katanya.
Obon juga khawatir, menjelang akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, akan terjadi proses transaksional dalam pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan.
Pasal-pasal yang ada dalam UU Ketenagakerjaan itu berkaitan dengan upah, outsourcing, PHK, tenaga kerja asing, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
Semua hal tersebut terkait erat dengan kepentingan pengusaha dan buruh.
"Ironisnya, saat ini isu yang kencang terdengar bahwa revisi ditujukan untuk mengurangi kualitas upah, mempermudah PHK, hingga penghapusan pesangon," katanya.
Karena itu, kata dia, sebagian besar serikat buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan jika tujuannya untuk mengakomodir kepentingan pengusaha.
Ia menegaskan revisi UU Ketenagakerjaan itu harus berdasarkan semangat melindungi kepentingan tenaga kerja.
"Namanya saja UU Ketenagakerjaan. Karena itu semangatnya adalah memberikan proteksi terhadap kepentingan tenaga kerja," katanya.
Baca juga: MK tolak permohonan uji UU Ketenagakerjaan
Baca juga: Menteri Ketenagakerjaan berpesan agar para buruh tetap optimistis
"Persoalan ketenagakerjaan bukan persoalan sepele. Sebab akan berdampak pada sekitar 80 juta buruh formal di Indonesia. Karena itu butuh kajian yang mendalam," ujar Obon melalui siaran pers, Selasa.
Presiden Joko Widodo telah rapat koordinasi dengan pihak terkait untuk menindaklanjuti usulan pengusaha untuk merevisi UU Ketenagakerjaan.
Namun Obon khawatir revisi tersebut hanya akan mengakomodasi kepentingan pengusaha dan mengabaikan kepentingan pekerja.
"Tidak akan maksimal dalam waktu tiga bulan undang-undang tersebut disahkan. Butuh pengkajian yang lama kalau ingin hasil maksimal," katanya.
Obon juga khawatir, menjelang akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019, akan terjadi proses transaksional dalam pembahasan revisi UU Ketenagakerjaan.
Pasal-pasal yang ada dalam UU Ketenagakerjaan itu berkaitan dengan upah, outsourcing, PHK, tenaga kerja asing, jaminan sosial, dan lain sebagainya.
Semua hal tersebut terkait erat dengan kepentingan pengusaha dan buruh.
"Ironisnya, saat ini isu yang kencang terdengar bahwa revisi ditujukan untuk mengurangi kualitas upah, mempermudah PHK, hingga penghapusan pesangon," katanya.
Karena itu, kata dia, sebagian besar serikat buruh menolak revisi UU Ketenagakerjaan jika tujuannya untuk mengakomodir kepentingan pengusaha.
Ia menegaskan revisi UU Ketenagakerjaan itu harus berdasarkan semangat melindungi kepentingan tenaga kerja.
"Namanya saja UU Ketenagakerjaan. Karena itu semangatnya adalah memberikan proteksi terhadap kepentingan tenaga kerja," katanya.
Baca juga: MK tolak permohonan uji UU Ketenagakerjaan
Baca juga: Menteri Ketenagakerjaan berpesan agar para buruh tetap optimistis
Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: