Jakarta (ANTARA News) - Mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, Roesdihardjo, didakwa merugikan negara 6,180 juta ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp15,45 miliar karena praktik pungutan liar yang berlakukannya di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Roesdihardjo bersama mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Arihken Tarigan, oleh penuntut umum di Pengadilan khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta, Rabu, dinyatakan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dari pemberlakuan SK Ganda untuk kepengurusan dokumen keimigrasian. Selama menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia, Roesdihardjo didakwa setiap bulan menerima 30.000 hingga 40.000 RM atau seluruhnya sebesar 660.000 RM hingga 880.000 RM atau setara Rp1,65 miliar sampai Rp2,2 miliar. Sedangkan Arihken dan para pegawai KBRI Kuala Lumpur lainnya didakwa menerima 5,3 juta RM atau setara Rp13,25 miliar. Uang yang diterima Roesdihardjo dan Arihken itu berasal dari pemberlakuan SK Ganda No021/SK-DB/0799 tanggal 20 Juli 1999 yang memberlakukan tarif yang lebih tinggi dari yang sebenarnya untuk biaya kepengurusan dokumen imigrasi. Tarif yang ditarik dari para WNI yang mengurus dokumen keimigrasian ditentukan lebih tinggi sedangkan yang disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah yang lebih rendah sesuai dengan tarif aslinya. Roesdihardjo, menurut JPU Suwarji, pada awal masa tugasnya Januari 2004, mendapat laporan dari Arihken soal pemberlakuan SK Ganda tersebut dan bersepakat dengan Arihken untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi dari para WNI yang mengurus dokumen keimigrasian. Akibat pemberlakuan SK ganda itu, antara lain tarif yang ditarik untuk pembuatan paspor perorangan 24 halaman dinaikkan menjadi 65 RM, sedangkan yang disetorkan ke kas negara hanya 30 RM. Paspor keluarga 24 halaman dinaikan tarifnya menjadi 80 RM sedangkan yang disetorkan ke kas negara hanya 45 RM. Pungutan yang dilakukan dengan menerapkan tarif yang lebih tinggi sejak Januari 2004 hingga Mei 2005 mencapai 15,135 juta RM, sedangkan yang disetorkan ke kas negara sesuai tarif aslinya hanya 10,936 juta RM. "Sehingga terdapat selisih yang tidak disetorkan ke kas negara sebagai PNBP sebesar 4,199 juta RM," kata JPU Suwarji. Selain melakukan pungutan biaya pengurusan dokumen keimigrasian dengan dua tarif berbeda, Arihken juga didakwa tidak menyetorkan hasil selisih penukaran kurs uang Ringgit Malaysia ke dolar Amerika Serikat atas pungutan pengurusan biaya pembuatan visa ke kas negara sebagai PNBP dalam kurun Januari 2004 hingga Oktober 2005 sebesar 364 ribu RM. Arihken juga tidak menyetorkan ke kas negara biaya pelayanan percepatan pengurusan paspor dan visa dalam kurun Januari 2004 hingga Oktober 2004 senilai 1,301 juta RM. Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan akibat perbuatan Arihken dan Roesdihardjo, menurut dakwaan, mencapai 6,180 juta RM atau setara Rp15,45 miliar. Dalam dakwaan pertama, Roesdihardjo dan Arihken dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. Dalam dakwaan kedua, keduanya dijerat dengan pasal 3 UU yang sama dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang dengan ancaman maksimal hukuman penjara seumur hidup. Usai pembacaan dakwaan, Roesdihardjo membantah semua dakwaan tersebut. "Itu tidak benar," ujarnya. Majelis Hakim yang diketuai Moerdiono menunda sidang hingga 13 Januari 2008 dengan agenda pembacaan eksepsi dari kuasa hukum Roesdihardjo sedangkan Arihken menyatakan telah mengerti semua dakwaan JPU dan tidak mengajukan eksepsi. Dalam kasus yang sama, Duta Besar RI untuk Malaysia sebelum Roesdihardjo, Hadi A Warayabi dan mantan Kabid Imigras KBRI Kuala Lumpur, Suparba, telah divonis 2,5 tahun penjara.(*)