Jakarta (ANTARA) - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) sengketa Pilpres 2019 yang telah dilaksanakan hingga 21 Juni seolah-olah sebagai panggung politik belaka.
"Kalau saya melihatnya banyak itu digunakan sebagai panggung politik karena saya melihat konstruksi hukumnya, pembuktiannya itu kelihatan pemohon belum siap," kata Bivitri ketika dihubungi, di Jakarta, Senin malam.
Ia mencontohkan ketika sidang kedua, bukti dari pemohon tidak diberikan kode nomor, dan saksi yang telah disumpah kemudian digantikan telah menunjukkan ketidaksiapan.
Selanjutnya Bivitri juga menyoroti proses sidang di MK dianggapnya digunakan sebagai sarana komunikasi kepada publik daripada membuktikan dalil-dalil yang dipermohonkan.
"Sidang ini malah lebih digunakan untuk mengomunikasikan beberapa diksi yang dari awal disuarakan seperti kata ‘manipulasi’, ‘KTP palsu’, dan diksi-diksi yang dari awal hingga akhir digunakan secara konsisten," ujarnya pula.
Terkait kelonggaran majelis yang mengizinkan pihak pemohon untuk memberikan perbaikan permohonan dan pergantian saksi, Bivitri berpendapat hal tersebut dilakukan oleh MK karena alasan politik yang cukup tinggi.
"Ini sensitivitasnya tinggi ingin memberikan kelonggaran karena kita merasa kasus ini sangat penting untuk rakyat Indonesia, sehingga mereka melakukan kelonggaran itu. Kelonggaran itu masih bisa diterima. Mereka mencoba semaksimal mungkin memberi kesempatan supaya publik juga paham dan melihat dengan terang kasus ini," katanya pula.
Baca juga: PBNU imbau masyarakat akhiri perpecahan setelah putusan sidang MK
Pengamat nilai sidang MK sebagai 'panggung' politik
24 Juni 2019 21:58 WIB
Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti. (ANTARA / Maria Rosari)
Pewarta: Shofi Ayudiana
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019
Tags: