Akademisi China sebut Indonesia bisa jadi korban perang dagang AS
24 Juni 2019 21:12 WIB
Wakil Presiden Eksekutif Hubungan Internasional Institut China Ruan Zongze (tengah) memaparkan pandangannya perihal hubungan China-AS dan China-ASEAN dalam acara kumpa wartawan di Jakarta, Senin (24/6/2019). (ANTARA/Suwanti)
Jakarta (ANTARA) - Wakil Presiden Eksekutif Hubungan Internasional Institut China, Ruan Zongze, menyebut bahwa Indonesia bisa saja menjadi korban dari perang dagang yang terjadi antara China dengan Amerika Serikat (AS).
Hal itu terjadi karena perselisihan dagang tersebut mengganggu rantai suplai global, di mana China dan AS memegang peranan vital. Dalam rantai normal, Indonesia dan negara-negara ASEAN mengekspor ke China, dan China akan mengekspor ulang ke AS.
“Indonesia juga akan menderita akibat gangguan itu, karena kemungkinan pangsa pasar akan menjadi lebih sempit,” kata Ruan dalam acara jumpa wartawan di Jakarta, Senin.
Menurut Ruan, pendapat yang menyebut bahwa Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara akan mendapat keuntungan dari perselisihan tersebut adalah suatu observasi jangka pendek.
“Saya tidak begitu setuju dengan observasi bahwa ASEAN atau Indonesia akan mendapat keuntungan, karena faktanya ada potensi kerusakan untuk Indonesia,” ujar dia.
Tidak hanya berpotensi menjadi korban dalam perselisihan dua negara ini, Indonesia juga mungkin saja bisa menjadi target perang dagang AS.
Perihal itu, Ruan menyebut hubungan internasional AS menggunakan pendekatan unilateral (tindakan sepihak) dan proteksionisme sehingga bukan tidak mungkin jika AS akan mencari target negara-negara lainnya, bukan hanya China.
Ruan menggarisbawahi perselisihan dagang itu sebagai hal yang mengglobal. Dia mengibaratkan China dan negara-negara ASEAN berada dalam perahu yang sama, di mana “tidak ada satu pun yang bisa selamat dari cuaca buruk ini.”
Ruan menekankan, Indonesia dan negara-negara ASEAN membutuhkan kerja sama, khususnya untuk menghadapi kemungkinan penyempitan pangsa pasar.
“Kita harus mencari tahu apa prioritas yang sesungguhnya dari perselisihan dagang ini. Prioritas nomor satu adalah multilateralisme,” ujar dia.
Multilateralisme, menurut Ruan, merupakan kunci bagi perkembangan masa depan Indonesia, juga bagi integrasi ASEAN.
Hal itu terjadi karena perselisihan dagang tersebut mengganggu rantai suplai global, di mana China dan AS memegang peranan vital. Dalam rantai normal, Indonesia dan negara-negara ASEAN mengekspor ke China, dan China akan mengekspor ulang ke AS.
“Indonesia juga akan menderita akibat gangguan itu, karena kemungkinan pangsa pasar akan menjadi lebih sempit,” kata Ruan dalam acara jumpa wartawan di Jakarta, Senin.
Menurut Ruan, pendapat yang menyebut bahwa Indonesia atau negara-negara Asia Tenggara akan mendapat keuntungan dari perselisihan tersebut adalah suatu observasi jangka pendek.
“Saya tidak begitu setuju dengan observasi bahwa ASEAN atau Indonesia akan mendapat keuntungan, karena faktanya ada potensi kerusakan untuk Indonesia,” ujar dia.
Tidak hanya berpotensi menjadi korban dalam perselisihan dua negara ini, Indonesia juga mungkin saja bisa menjadi target perang dagang AS.
Perihal itu, Ruan menyebut hubungan internasional AS menggunakan pendekatan unilateral (tindakan sepihak) dan proteksionisme sehingga bukan tidak mungkin jika AS akan mencari target negara-negara lainnya, bukan hanya China.
Ruan menggarisbawahi perselisihan dagang itu sebagai hal yang mengglobal. Dia mengibaratkan China dan negara-negara ASEAN berada dalam perahu yang sama, di mana “tidak ada satu pun yang bisa selamat dari cuaca buruk ini.”
Ruan menekankan, Indonesia dan negara-negara ASEAN membutuhkan kerja sama, khususnya untuk menghadapi kemungkinan penyempitan pangsa pasar.
“Kita harus mencari tahu apa prioritas yang sesungguhnya dari perselisihan dagang ini. Prioritas nomor satu adalah multilateralisme,” ujar dia.
Multilateralisme, menurut Ruan, merupakan kunci bagi perkembangan masa depan Indonesia, juga bagi integrasi ASEAN.
Pewarta: Suwanti
Editor: Eliswan Azly
Copyright © ANTARA 2019
Tags: