Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai kebijakan restriksi atau pembatasan di negara importir telah memengaruhi pelemahan nilai ekspor pada Januari-Mei 2019 dibandingkan periode sama 2018.

"Pelemahan itu saya rasa, kontribusi terbesarnya, dari bentuk-bentuk restriksi di negara-negara pengimpor," katanya saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Senin.

Namun, Andry memperkirakan pelemahan ekspor tersebut hanya berlaku secara bulanan saja atau sementara waktu karena pada Mei 2019, Indonesia mencatat surplus necara perdagangan.

Berdasarkan dari golongan barang, menurut dia, bahan bakar mineral dan minyak hewan dan nabati memberikan kontribusi cukup besar terhadap pelemahan ekspor.

Dari bahan bakar mineral dan minyak mentah turun sebesar 4,59 persen untuk Januari-Mei 2019, dibandingkan Januari-Mei 2018.

Sementara itu, penurunan ekspor dari lemak hewan atau nabati pada Januari-Mei 2019 tercatat cukup besar yakni 17,87 persen dibandingkan periode sama 2018, katanya.

Dia menggarisbawahi bahwa penurunan industri minyak sawit sebesar 10,89 persen telah memberikan kontribusi cukup besar terhadap pelemahan ekspor pada Januari-Mei 2019.

Penurunan tersebut, kata dia masih disebabkan oleh restriksi dari negara-negara importir.

Uni Eropa masih melakukan restriksi cukup ketat terhadap crude plam oil (CPO) atau minyak sawit mentah Indonesia dan barang-barang turunannya.

Sementara itu, India juga memberlakukan bea impor cukup tinggi dibandingkan Malaysia sehingga Indonesia kesulitan untuk melakukan penetrasi pasar yang sebelumnya bisa dilakukan.

Badan Pusat Statistik mencatat nilai ekspor Indonesia pada Mei 2019 mencapai 14,74 miliar dolar AS atau meningkat 12,42 persen dibanding ekspor April 2019.

Meski demikian, jika dibandingkan dengan 16,1 miliar dolar AS yang tercatat pada Mei 2018, angkanya menurun 8,99 persen.

Baca juga: BPS sebut impor Mei 2019 turun tajam
Baca juga: Ekspor CPO Riau triwulan I 2019 turun 23 persen
Baca juga: GAPKI: Ekspor minyak sawit tetap meningkat meski diskriminasi UE