Pengacara: "fee" untuk Eni sudah selesai sebelum bertemu Sofyan
24 Juni 2019 15:54 WIB
Mantan Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (24/6). (Desca Lidya Natalia)
Jakarta (ANTARA) - Pengacara mantan Direktur Utama (Dirut) PT PLN Sofyan Basir menyatakan bahwa pemberian "fee" kepada anggota Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih sebesar Rp4,75 miliar oleh pemilik saham BNR Johannes Budi Sutrisno Kotjo sudah selesai dilakukan sebelum keduanya bertemu dengan Sofyan.
"Sebelum terdakwa Sofyan Basir bertemu dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo, menurut uraian surat dakwaan di atas, tindak pidana suap-menyuap sebagaimana dimaksud pasal 12 a atau pasal 11 sudah terjadi sepenuhnya atau sudah sempurna/selesai (voltooid), artinya perbuatan suap-menyuap tersebut telah selesai lebih dahulu dan sudah memenuhi rumusan unsur delik yang dituduhkan," kata penasihat hukum Sofyan, Susilo Aribowo saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII dari Partai Golkar DPR Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd) Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek "Independent Power Producer" (IPP) PLTU Mulut Tambang RIAU-1 dengan imbalan Rp4,75 miliar untuk Eni dan Idrus.
Bila pemberian suap itu sudah selesai, menurut pengacara, maka Sofyan Basir tidak lagi memenuhi dakwaan jo pasal 15 jo pasal 56 ayat 2 KUHP dalam surat dakwaan yaitu setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
"Secara jelas dapat diketahui bahwa sebelum Eni Maulani pertama kali ketemu terdakwa Sofyan Basir guna membicarakan soal PLTU MT RIAU-1 di PT PLN, Eni Maulani sudah terlebih dahulu bertemu dengan Johanes Kotjo, dan pada saat itu Johanes Kotjo sudah menjanjikan akan memberi hadiah berupa uang atau fee kepada Eni Maulani Saragih dan sudah disanggupi/disetujui oleh Eni Maulani Saragih," ungkap Susilo.
Menurut pengacara, delik pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ke-2 KUHP merupakan delik pembantuan yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana.
Sementara dalam dakwaan pengacara menilai keterlibatan Sofyan Basir baru terjadi setelah tuduhan adanya tindak pidana korupsi yaitu suap menyuap antara Eni Maulani dengan Johanes Kotjo sudah terjadi sepenuhnya (voltooid).
"Jadi, antara uraian fakta dengan pasal dakwaan yang disampaikan Penuntut Umum di dalam surat dakwaan terdapat ketidakselarasan dan kekeliruan. Surat dakwaan yang semacam itu jelas-jelas merupakan surat dakwaan yang tidak cermat dan tidak jelas atau 'obscuur libel', sehingga wajib dinyatakan batal demi hukum," tegas pengacara.
Selanjutnya, pihak atau orang yang memiliki jabatan atau kewenangan dalam proyek pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1, tentu adalah Sofyan Basir atau PT PLN sedangkan Johanes Kotjo, Eny Maulani dan Idrus Marham adalah pihak-pihak di luar PT PLN yang tidak memiliki kedudukan atau jabatan guna menentukan proyek PLTU Riau-1, yang memiliki kualitas berbeda dengan Sofyan Basir.
"Penuntut umum sama sekali tidak pernah menguraikan pemberian fee berupa uang kepada terdakwa Sofyan Basir dan juga tidak pernah menguraikan tentang pemahaman/pengetahuan atau kesadaran, bahwa selama pertemuan-pertemuan tersebut telah menimbulkan pembagian fee atau hadiah dari Johanes Kotjo kepada Eny Maulani dan Idrus Marham," tambah pengacara.
Sofyan Basir, menurut penasihat hukumnya, adalah pihak yang tidak memiliki kualitas kendali terhadap Johanes Kotjo atau Eni Maulani yang bisa melakukan tindak pidana kejahatan tanpa kehadiran Sofyan Basir.
"Ketidakcermatan surat dakwaan terkait dengan penentuan kualitas terdakwa Sofyan Basir yang diduga telah memberikan fasilitas untuk mempercepat proses kesepakatan proyek atau memfasiltasi pertemuan-pertemuan telah membuat surat dakwaan harus batal demi hukum," tegas Susilo.
"Sebelum terdakwa Sofyan Basir bertemu dengan Eni Maulani Saragih dan Johanes Budisutrisno Kotjo, menurut uraian surat dakwaan di atas, tindak pidana suap-menyuap sebagaimana dimaksud pasal 12 a atau pasal 11 sudah terjadi sepenuhnya atau sudah sempurna/selesai (voltooid), artinya perbuatan suap-menyuap tersebut telah selesai lebih dahulu dan sudah memenuhi rumusan unsur delik yang dituduhkan," kata penasihat hukum Sofyan, Susilo Aribowo saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Sofyan Basir memfasilitasi pertemuan antara anggota Komisi VII dari Partai Golkar DPR Eni Maulani Saragih, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham dan pemilik saham Blackgold Natural Resources Limited (BNR Ltd) Johannes Budisutrisno Kotjo untuk mempercepat kesepakatan proyek "Independent Power Producer" (IPP) PLTU Mulut Tambang RIAU-1 dengan imbalan Rp4,75 miliar untuk Eni dan Idrus.
Bila pemberian suap itu sudah selesai, menurut pengacara, maka Sofyan Basir tidak lagi memenuhi dakwaan jo pasal 15 jo pasal 56 ayat 2 KUHP dalam surat dakwaan yaitu setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
"Secara jelas dapat diketahui bahwa sebelum Eni Maulani pertama kali ketemu terdakwa Sofyan Basir guna membicarakan soal PLTU MT RIAU-1 di PT PLN, Eni Maulani sudah terlebih dahulu bertemu dengan Johanes Kotjo, dan pada saat itu Johanes Kotjo sudah menjanjikan akan memberi hadiah berupa uang atau fee kepada Eni Maulani Saragih dan sudah disanggupi/disetujui oleh Eni Maulani Saragih," ungkap Susilo.
Menurut pengacara, delik pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ke-2 KUHP merupakan delik pembantuan yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana.
Sementara dalam dakwaan pengacara menilai keterlibatan Sofyan Basir baru terjadi setelah tuduhan adanya tindak pidana korupsi yaitu suap menyuap antara Eni Maulani dengan Johanes Kotjo sudah terjadi sepenuhnya (voltooid).
"Jadi, antara uraian fakta dengan pasal dakwaan yang disampaikan Penuntut Umum di dalam surat dakwaan terdapat ketidakselarasan dan kekeliruan. Surat dakwaan yang semacam itu jelas-jelas merupakan surat dakwaan yang tidak cermat dan tidak jelas atau 'obscuur libel', sehingga wajib dinyatakan batal demi hukum," tegas pengacara.
Selanjutnya, pihak atau orang yang memiliki jabatan atau kewenangan dalam proyek pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1, tentu adalah Sofyan Basir atau PT PLN sedangkan Johanes Kotjo, Eny Maulani dan Idrus Marham adalah pihak-pihak di luar PT PLN yang tidak memiliki kedudukan atau jabatan guna menentukan proyek PLTU Riau-1, yang memiliki kualitas berbeda dengan Sofyan Basir.
"Penuntut umum sama sekali tidak pernah menguraikan pemberian fee berupa uang kepada terdakwa Sofyan Basir dan juga tidak pernah menguraikan tentang pemahaman/pengetahuan atau kesadaran, bahwa selama pertemuan-pertemuan tersebut telah menimbulkan pembagian fee atau hadiah dari Johanes Kotjo kepada Eny Maulani dan Idrus Marham," tambah pengacara.
Sofyan Basir, menurut penasihat hukumnya, adalah pihak yang tidak memiliki kualitas kendali terhadap Johanes Kotjo atau Eni Maulani yang bisa melakukan tindak pidana kejahatan tanpa kehadiran Sofyan Basir.
"Ketidakcermatan surat dakwaan terkait dengan penentuan kualitas terdakwa Sofyan Basir yang diduga telah memberikan fasilitas untuk mempercepat proses kesepakatan proyek atau memfasiltasi pertemuan-pertemuan telah membuat surat dakwaan harus batal demi hukum," tegas Susilo.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019
Tags: