KPK: Hasil pertambangan tidak dirasakan langsung masyarakat Sultra
24 Juni 2019 14:49 WIB
Wakil Ketua KPK RI La Ode Muh.Syarif di Kendari, usai memberi kuliah umum pada program Magister Fakultas Hukum Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) di Kendari, Senin (24/6). (Foto ANTARA/Azis Senong)
Kendari (ANTARA) - Wakil Ketua KPK RI, La Ode Muhammad Syarif menyebut hasil dan kekayaan dari kegiatan pertambangan di Sulawesi Tenggara (Sultra) belakangan ini tidak banyak dinikmati oleh masyarakat, namun hanya kalangan orang-orang tertentu saja yang diuntungkan.
"Kekayaan hasil kegiatan pertambangan tidak dirasakan langsung oleh masyarakat, sebagian besar hanya bos tambangnya saja. Masyarakat ya hanya dapat sisa-sisanya saja, tanpa sadar sebenarnya kekayaan hasil bumi telah banyak mengalir ke kalangan elite yang masuk dalam internal tambang," kata LM Syarif saat memberi kuliah umum di Kendari, Senin.
Kehadiran wakil Ketua KPK yang juga pakar hukum lingkungan Internasional di bumi Anoa Kendari itu merupakan undangan dari sivitas Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) dalam rangka pembekalan bagi mahasiswa program Megister Fakultas Hukum Unsultra.
La Ode Syarif membeberkan, sejumlah permasalahan perusahaan pertambangan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara yang dinilai banyak bermasalah karena adanya dugaan penyalahgunaan izin pertambangan dan perkebunan yang tidak sesuai peruntukannya.
"Masalah utama marak terjadi di Sultra adalah penyalahgunaan izin perkebunan dan pertambangan yang tidak sesuai peruntukannya. Dan paling rawan lagi adanya penyalahgunaan izin, baik itu perkebunan maupun IUP pertambangan," ujarnya.
Ia mencontohkan, ada beberapa perusahaan yang izinnya membuka perkebunan, namun nyatanya di dalamnya ada kegiatan eksplorasi pertambangan.
Begitu juga IUP pertambangan, banyak perusahaan tambang tidak memperhatikan soal lingkungan. Seperti mengeruk gunung tanpa batas, penebangan hutan dalam jumlah besar, dampaknya terjadinya ancaman bencana.
Oleh karena itu, ia juga menekankan kepada pemerintah baik provinsi maupun pusat untuk tidak mudah mengeluarkan IUP sebelum melakukan pengecekan di lapangan dengan melibatkan instansi teknis dan universitas, apakah kawasan yang diinginkan investor itu benar-benar tidak menyalahi aturan dikemudian hari.
Ia juga menyebutkan bahwa adanya kasus suap dalam bisnis pertambangan di Provinsi Sultra terjadi pada tahapan perencanaan berupa eksploitasi pertambangan di pulau-pulau kecil.
Ia mencontohkan pulau kecil di Kabaena wilayah kabupaten Bombana. Wilayah ini tidak memungkinkan untuk dilakukan penambangan. Sebab penambangan di pulau-pulau tidak sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
"Kekayaan hasil kegiatan pertambangan tidak dirasakan langsung oleh masyarakat, sebagian besar hanya bos tambangnya saja. Masyarakat ya hanya dapat sisa-sisanya saja, tanpa sadar sebenarnya kekayaan hasil bumi telah banyak mengalir ke kalangan elite yang masuk dalam internal tambang," kata LM Syarif saat memberi kuliah umum di Kendari, Senin.
Kehadiran wakil Ketua KPK yang juga pakar hukum lingkungan Internasional di bumi Anoa Kendari itu merupakan undangan dari sivitas Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) dalam rangka pembekalan bagi mahasiswa program Megister Fakultas Hukum Unsultra.
La Ode Syarif membeberkan, sejumlah permasalahan perusahaan pertambangan yang beroperasi di Sulawesi Tenggara yang dinilai banyak bermasalah karena adanya dugaan penyalahgunaan izin pertambangan dan perkebunan yang tidak sesuai peruntukannya.
"Masalah utama marak terjadi di Sultra adalah penyalahgunaan izin perkebunan dan pertambangan yang tidak sesuai peruntukannya. Dan paling rawan lagi adanya penyalahgunaan izin, baik itu perkebunan maupun IUP pertambangan," ujarnya.
Ia mencontohkan, ada beberapa perusahaan yang izinnya membuka perkebunan, namun nyatanya di dalamnya ada kegiatan eksplorasi pertambangan.
Begitu juga IUP pertambangan, banyak perusahaan tambang tidak memperhatikan soal lingkungan. Seperti mengeruk gunung tanpa batas, penebangan hutan dalam jumlah besar, dampaknya terjadinya ancaman bencana.
Oleh karena itu, ia juga menekankan kepada pemerintah baik provinsi maupun pusat untuk tidak mudah mengeluarkan IUP sebelum melakukan pengecekan di lapangan dengan melibatkan instansi teknis dan universitas, apakah kawasan yang diinginkan investor itu benar-benar tidak menyalahi aturan dikemudian hari.
Ia juga menyebutkan bahwa adanya kasus suap dalam bisnis pertambangan di Provinsi Sultra terjadi pada tahapan perencanaan berupa eksploitasi pertambangan di pulau-pulau kecil.
Ia mencontohkan pulau kecil di Kabaena wilayah kabupaten Bombana. Wilayah ini tidak memungkinkan untuk dilakukan penambangan. Sebab penambangan di pulau-pulau tidak sesuai Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Pewarta: Abdul Azis Senong
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019
Tags: