Jakarta (ANTARA) - Saksi ahli Tim Kampanye Nasional (TKN) 01, Heru Widodo, mengutip pandangan Bagir Manan, mengatakan bahwa Mahkamah Konstitusi harus tetap konsisten dalam menyikapi tuntutan diskualifikasi calon dalam sidang sengketa Pemilu 2019 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jumat.

"Memang, setiap majelis bebas membuat putusan sesuai dengan pertimbangan keyakinan dan kesepakatan yang dicapai majelis. Namun, seperti dikemukakan Profesor Bagir Manan bahwa Majelis Hakim menjaga konsistensi dengan putusan-putusan terdahulu," kata Heru, sembari membaca teks yang ia pegang, di depan Majelis Hakim.

Dia menyebutkan sebelumnya pelanggaran kualitatif baik yang terukur maupun terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang diajukan pemohon di persidangan selalu melewati lembaga-lembaga lain terlebih dahulu sebelum diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

"Pelanggaran terukur yang menyangkut syarat pencalonan diajukan ke Bawaslu dan disengketakan melalui peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan pelanggaran TSM diproses pengaduannya dan diputuskan Bawaslu, apabila peserta dikenai sanksi diskualifikasi karena terbukti melakukan pelanggaran TSM dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Agung," kata Heru di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.

Ia menyampaikan MK harus tetap konsisten dalam tuntutan diskualifikasi pasangan calon Jokowi-Ma’ruf Amin demi kepastian hukum dan menjadi petunjuk bagi pihak yang akan mengajukan perkara ke depannya.

Ia mencontohkan kasus-kasus terdahulu yang pernah diputuskan Mahkamah Konstitusi.
"Putusan Mahkamah dalam mengadili Pilkada serentak sejak 2015, dapat dijadikan sumber rujukan untuk menganalisis atau untuk mencari tahu sikap Mahkamah tentang diskualifikasi calon yang diajukan dalam perselisihan hasil pemilihan," jelasnya.

Rujukan pertama adalah Putusan Pilgub Provinsi Maluku Utara 2018. Dia menyebut dalam gugatan Pilgub Malut 2018 terdapat permintaan diskualifikasi yang baru muncul pada tahapan PSU (Pemungutan suara ulang).

"Gubernur petahana dilaporkan melanggar pasal 71 UU Pilkada serentak. Bawaslu Provinsi Maluku Utara merekomendasikan untuk didiskualifikasi. Mahkamah berpendapat, pendiskualifikasian adalah wewenang badan penegak hukum lain untuk menyelesaikannya," ucap Heru.

Contoh kedua adalah putusan MK dalam sengketa Pilkada Kabupaten Kuantan Singingi 2015. Ada permohonan diskualifikasi pemenang karena disebut tidak memenuhi syarat dukungan partai politik. MK, kata Heru, menyatakan permasalahan hukum tersebut termasuk dalam kategori sengketa TUN pemilihan yang merupakan wewenang lembaga lain.
Baca juga: Sidang MK, ahli: signifikansi pelanggaran unsur penyelesaian sengketa

Ketiga, Heru mencontohkan putusan sengketa Pilkada Kabupaten Jayapura 2017 yang di dalamnya terdapat permohonan mendiskualifikasi Bupati Petanaha atas tindakan mengganti pejabat, sebagaimana rekomendasi Bawaslu. Hasilnya, MK menyatakan rekomendasi tersebut baru dikeluarkan setelah selesai rekapitulasi penetapan hasil, sehingga tidak relevan untuk dipertimbangkan dan MK kemudian menolak permohonan diskualifikasi.

Keempat, soal diskualifikasi yang terdapat putusan Mahkamah dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen 2017, yang justru memulihkan tindakan diskualifikasi yang dilakukan penyelenggara setelah pemilihan selesai.

Dalam perkara yang diperselisihkan itu, ambang batas tidak dipenuhi pemohon, karena pada saat pleno penetapan hasil tingkat Kabupaten, perolehan suara pemohon di-nol-kan oleh KPU Kepulauan Yapen, sesuai rekomendasi untuk mendiskualifikasi dari Panwaslu Yapen.
Baca juga: Sidang MK, saksi ahli sebut pembuktian kecurangan TSM sangat rumit
KPU RI dan Bawaslu RI meminta KPU Kepulauan Yapen mencabut pendiskualifikasian, namun tidak diindahkan. Sekalipun pemohon tidak memenuhi syarat ambang batas, Mahkamah menjatuhkan putusan sela dengan amar perintah PSU se-Kabupaten, dengan mengikutsertakan pasangan calon yang didiskualifikasi.

Adapun Putusan-putusan-putusan MK itu, menurut Heru, sudah tepat dan relevan untuk dijadikan ukuran dalam mempertimbangkan permohonan diskualifikasi dalam perselisihan hasil Pilpres 2019, meskipun disebutnya putusan Hakim di Indonesia tidak harus mengikuti putusan-putusan Hakim terdahulu pada perkara yang sama (asas precedent / asas stare decisis).
Baca juga: Sidang MK, ahli: MK tak kehilangan progresivitasnya dalam PHPU Pilpres