Jember, Jawa Timur (ANTARA) - Pengamat hukum Universitas Jember Dr Nurul Ghufron mengatakan sistem zonasi pendidikan yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dinilai melanggar konstitusi dan akan menimbulkan ketidakadilan bagi siswa.

"Sudah menjadi mahfum bahwa sejak zaman Orde Baru sekolah-sekolah favorit bertumpu bukan hanya di satu kecamatan tertentu, bahkan bisa di satu desa tertentu," katanya, di Kabupaten Jember, Kamis.

Menurutnya hal itu akan berakibat tidak imbang atau tidak adil akses siswa kepada sekolah-sekolah tertentu berdasarkan daerahnya, sehingga zonasi justru menimbulkan ketidakadilan baru karena keterbatasan akses pendidikan berdasarkan zona atau wilayah.

"Dengan demikian, akan menimbulkan pameo baru bahwa orang desa tidak boleh sekolah di sekolah negeri bagus yang berada di kawasan kota karena sistem zonasi," ujarnya pula.

Selain itu, lanjut dia, fasilitas dan sarana prasarana antarsekolah juga belum merata karena faktanya hingga saat ini adanya sekolah-sekolah favorit karena memang didukung adanya prasarana dan sumber daya manusia (SDM) yang beragam.

"Sebelum realisasi pemerataan SDM dan sarana prasarana masih menjadi kesenjangan, maka akses berdasarkan zona hanya akan menimbulkan ketidakadilan," katanya pula.

Ia mengatakan tanggung jawab memberikan keadilan pendidikan bukan dengan memaksa dan membatasi siswa ke sekolah tertentu, termasuk berdasarkan zona wilayah, namun dengan menjamin kesetaraan SDM dan sarana prasarana sekolah.

"Negara itu menjamin warganya untuk berpendidikan (bersekolah) dan kewajiban negara untuk mencerdaskan bangsa serta hak warga negara untuk memilih sekolah, sehingga membatasi dalam zona tertentu bisa dinilai merupakan pelanggaran konstitusional," ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember itu pula. Baca juga: Orang tua siswa keluhkan sistem zonasi PPDB

Ghufron juga mempertanyakan basis zonasi apakah di tingkat desa, kecamatan atau kabupaten/kota karena sebaran sekolah yang beragam di sebuah kabupaten/ kota tertentu bisa jadi lebih dekat dengan lokasi sekolah kabupaten lain, sehingga kalau berdasarkan zona kabupaten maka peserta didik harus dipaksa untuk tunduk pada zona lokasi sekolahnya, sehingga bisa menghambat.

"Itu bukan saja tidak memberikan keadilan, namun sebaliknya menyulitkan akses warga kepada sekolah yang bisa menghambat program pendidikan bangsa secara lebih mendasar dalam mencerdaskan kehidupan bangsa," katanya pula.

Menurutnya, PPBD berbasis zonasi akan menuai masalah dan berharap tidak menjadi bom waktu bagi kehidupan pendidikan Indonesia, karena anak-anak tersebut bukanlah kelinci percobaan.

"Pemerintah seharusnya yang wajib memeratakan standar sekolah dan bukan siswa yang dipaksa masuk ke sekolah tertentu, sehingga paradigma negara dalam memfasilitasi sekolah harus begitu," ujarnya lagi. Baca juga: Kemendikbud revisi kuota PPDB jalur prestasi