Ekonom minta KPPU awasi persaingan transportasi daring
21 Juni 2019 16:15 WIB
Ekonom Harryadin Mahardika dalam diskusi ”Memposisikan Angkutan Online dalam Transportasi Perkotaan” di Jakarta, Jumat (21/6/2019). (ANTARA/Aji Cakti)
Jakarta (ANTARA) - Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Harryadin Mahardika meminta Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengawasi persaingan industri transportasi daring (online) di perkotaan dalam rangka mencegah praktek penjualan produk dengan harga sangat rendah atau predatory pricing.
"Khususnya untuk menemukan indikasi-indikasi praktek predatory pricing yang mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. KPPU juga perlu mendukung upaya-upaya positif pemerintah guna menjaga keberlanjutan industri transportasi online," ujar Harryadin kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa strategi pelaku usaha menjalankan predatory pricing diduga telah terjadi di industri transportasi online. Caranya, mereka menggunakan promosi yang tidak lazim (predatory promotion) untuk menarik perhatian masyarakat.
"Predatory promotion di industri transportasi online ini bisa jadi sangat berbahaya karena ditujukan agar mematikan pesaing dan mengarah ke persaingan tidak sehat. Terdapat perbedaan dengan perusahaan konvensional yang melakukan promosi dengan menyisihkan profit untuk menjaga loyalitas konsumen. Sedangkan,promosi oleh perusahaan transportasi online cenderung membakar modal untuk penguasaan pangsa pasar," katanya.
Harryadin menyebut ada beberapa indikasi dan modus praktek predatory pricing yang dilakukan perusahaan transportasi online, antara lain promosi berupa diskon hingga mencapai harga yang tak wajar, promosi dilakukan dalam jangka waktu lama yang melampaui kelaziman dan terindikasi mematikan pelaku usaha lainnya.
Selain itu indikasi atau modus praktek predatory pricing lainnya yakni adanya niat untuk mendominasi pasar yang disampaikan secara publik oleh pelaku usaha/pemilik modal, dan harga aktual yang dibayarkan konsumen lebih rendah dibandingkan harga yang diterima pengemudi dan diduga berada di bawah biaya produksi.
Hilangnya persaingan, lanjutnya, akibat monopoli pelakuan usaha predator di industri transportasi online akan langsung memperlemah posisi tawar mitranya (driver dan merchant) serta konsumen.
"Saya memberi contoh di Singapura. Pasca akuisisi Uber oleh Grab, traif dinaikkan hingga 10-15 persen dari Maret-Juli 2018 serta diprediksi meningkat drastis 20-30 persen hingga 2021. Di saat bersamaan, besaran insentif bagi mitra pengemudi juga ditemukan menurun signifikan pasca akuisisi. Temuan ini menyebabkan Grab didenda Rp140 miliar oleh Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS)," kata Haryadin.
Baca juga: MTI dorong adanya UU penataan transportasi "online"
Baca juga: Pengawasan kenaikan tarif transportasi daring koordinasi BPTJ
Baca juga: Dishub: Mau eksis di Jakarta, transportasi daring harus berbenah
"Khususnya untuk menemukan indikasi-indikasi praktek predatory pricing yang mengarah ke persaingan usaha tidak sehat. KPPU juga perlu mendukung upaya-upaya positif pemerintah guna menjaga keberlanjutan industri transportasi online," ujar Harryadin kepada wartawan di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan bahwa strategi pelaku usaha menjalankan predatory pricing diduga telah terjadi di industri transportasi online. Caranya, mereka menggunakan promosi yang tidak lazim (predatory promotion) untuk menarik perhatian masyarakat.
"Predatory promotion di industri transportasi online ini bisa jadi sangat berbahaya karena ditujukan agar mematikan pesaing dan mengarah ke persaingan tidak sehat. Terdapat perbedaan dengan perusahaan konvensional yang melakukan promosi dengan menyisihkan profit untuk menjaga loyalitas konsumen. Sedangkan,promosi oleh perusahaan transportasi online cenderung membakar modal untuk penguasaan pangsa pasar," katanya.
Harryadin menyebut ada beberapa indikasi dan modus praktek predatory pricing yang dilakukan perusahaan transportasi online, antara lain promosi berupa diskon hingga mencapai harga yang tak wajar, promosi dilakukan dalam jangka waktu lama yang melampaui kelaziman dan terindikasi mematikan pelaku usaha lainnya.
Selain itu indikasi atau modus praktek predatory pricing lainnya yakni adanya niat untuk mendominasi pasar yang disampaikan secara publik oleh pelaku usaha/pemilik modal, dan harga aktual yang dibayarkan konsumen lebih rendah dibandingkan harga yang diterima pengemudi dan diduga berada di bawah biaya produksi.
Hilangnya persaingan, lanjutnya, akibat monopoli pelakuan usaha predator di industri transportasi online akan langsung memperlemah posisi tawar mitranya (driver dan merchant) serta konsumen.
"Saya memberi contoh di Singapura. Pasca akuisisi Uber oleh Grab, traif dinaikkan hingga 10-15 persen dari Maret-Juli 2018 serta diprediksi meningkat drastis 20-30 persen hingga 2021. Di saat bersamaan, besaran insentif bagi mitra pengemudi juga ditemukan menurun signifikan pasca akuisisi. Temuan ini menyebabkan Grab didenda Rp140 miliar oleh Competition and Consumer Commission of Singapore (CCCS)," kata Haryadin.
Baca juga: MTI dorong adanya UU penataan transportasi "online"
Baca juga: Pengawasan kenaikan tarif transportasi daring koordinasi BPTJ
Baca juga: Dishub: Mau eksis di Jakarta, transportasi daring harus berbenah
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: