Jakarta (ANTARA) - Wartawan Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) perlu mengembangkan kapasitas menjadi agen diplomasi jurnalistik antarkedua negara bertetangga agar semakin mempererat hubungan kedua negara.

"Banyak kesamaan yang harus didiseminasikan dengan baik," kata Redaktur Senior Perum LKBN ANTARA Ade Partogi Marboen pada Pelatihan Manajemen Kantor Berita yang diikuti oleh enam wartawan Kantor Berita Tatoli, Timor Leste, di Jakarta, Kamis.

Redaktur Senior Andi Jauhari juga turut menyampaikan pandangannya pada pelatihan yang diselenggarakan atas kerja sama kantor berita resmi RI ANTARA dan kantor berita resmi RDTL, Tatoli.

Enam wartawan Tatoli yang mengikuti pelatihan sejak 17 Juni lalu hingga 2 Juli 2019 mendatang adalah Rita Almeida (Editor), Antonio Goncalves (Editor Foto), Jogerjo Guterres (Videografer), Antonia Maia (Reporter), Maria Auxiladora (Reporter), dan Agapito dos Santos (Reporter).

Marboen yang pernah bertugas di Perwakilan ANTARA di Atambua, NTT yang berbatasan langsung dengan Timor Leste pada 2006-2009 menyebutkan, selama bertugas dengan luas liputan hingga Dili dan sejumlah daerah di Timor Leste, hubungan kemanusiaan, kultural, ekonomi, dan sebagainya perlu didengungkan oleh pers kedua negara sebagai komitmen kerja sama dan persaudaraaan yang erat antarkedua negara.

"Pers memegang peranan sangat penting dalam kontak antarpenduduk dan antarlembaga di kedua negara," kata Marboen yang pernah mewawancarai Xanana Gusmao, saat masih menjabat Presiden Timor Leste pada tahun 2006.

Ia mengutip pendapat dari Xanana yang selalu diingatnya bahwa "Kita tidak bisa memilih tetangga kita, oleh karena itu kita harus bekerja sama yang erat dengan kedua negara kita". Saat itu, bahkan Xanana menganjurkan agar ANTARA memiliki kantor perwakilan atau biro di Dili. Baca juga: Timor Leste luncurkan kantor berita ANTL

Sedangkan Andi Jauhari yang juga pernah bertugas di Dili selama beberapa tahun pada era pertengahan 1990-an, bahkan pada saat referendum tahun 1999 dan menjelang serta hingga peresmian kemerdekaan RDTL, mengatakan bahwa wartawan kedua negara perlu menyelenggarakan berbagai program pertukaran informasi dan berbagai diskusi serta bertukar kunjungan untuk menjaga hubungan baik kedua negara.

"Misalnya perlu dilakukan berbagai focus group discussion berbagai isu strategis kedua negara," kata Andi yang pernah berkali-kali mewawancarai Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, saat bertugas di Dili.

Ia mengatakan generasi muda kedua negara saat ini bisa saja belum banyak yang mengetahui bahwa Timor Leste pernah berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia sejak 1970-an.

"Negara bisa saja berbeda, tetapi persaudaraan dan persahabatan antarrakyat kedua negara harus terjalin selamanya," kata Andi.

Marboen menambahkan kegiatan jurnalistik bersama seperti reportase bersama ANTARA dan Tatoli, bisa dilakukan atas berbagai topik yang mendapat perhatian kedua negara, termasuk yang berada di sepanjang perbatasan kedua negara.

Salah satu peserta pelatihan Rita Almeida mengatakan masih banyak masyarakat di Timor Leste yang menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapan sehari-hari bahkan memakai mata uang rupiah untuk jual-beli sehari-hari terutama pada masyarakat yang tinggal dekat dengan pasar-pasar yang berada di perbatasan dengan Indonesia.

"Perbatasan negara kita memang unik," kata Marboen kepada peserta pelatihan.

Sebelumnya, Menteri Muda Komunikasi Sosial Timor Leste (SECOMS) Mericio Juvenal dos Reis Akara kepada ANTARA di Dili, Selasa (12/6), menyampaikan bahwa untuk meningkatkan kerja sama pendidikan dan pelatihan jurnalisme dengan Indonesia, Timor Leste mengirim sejumlah wartawan Kantor Berita Tatoli ke Lembaga Kantor Berita Nasional ANTARA.

“Kami tetap berkomitmen meningkatkan kemampuan profesionalitas para jurnalis melalui kerja sama dengan banyak pihak di Indonesia, termasuk Kantor Berita ANTARA,” katanya.

Pelatihan tersebut merupakan angkatan pertama sejak Kantor Berita Tatoli berdiri pada 2016. Baca juga: Indonesia-Timor Leste jajaki kerja sama kantor berita