Menakar panas bumi sebagai energi terbarukan
20 Juni 2019 07:33 WIB
Workshop 'Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia' yang digelar Allbright Stonebridge Group (ASG) Indonesia di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (19/6/2019). (M Fikri Setiawan).
Bogor (ANTARA) - Balai Besar Teknologi Konversi Energi pada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) membeberkan potensi beberapa Energi Baru Terbarukan (EBT), salah satunya Panas Bumi yang tergolong mumpuni untuk energi terbarukan.
"Indonesia termasuk tiga atau empat besar negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Tapi, panas bumi biasanya di wilayah gunung, agak jauh dari fasilitas kota. Itu salah satu kendalanya," ujar Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi, BPPT, Mohammad Mustafa Sarinanto di lokakarya 'Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia' yang digelar Allbright Stonebridge Group (ASG) Indonesia di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Menurutnya, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mulai melirik Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil 5 Mega Watt (MW) dan juga PLTP binery cycle di Lahendong dan Gunung Salak.
Potensi PLTP skala kecil 5 MW itu tersebar di beberapa lokasi, seperti Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Meski begitu, menurut Mustafa pemanfaatan EBT sampai saat ini masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), diikuti oleh energi biomassa, panas bumi, dan biodiesel.
"Yang jelas energi terbarukan itu kebutuhan zaman. Kita harus siap-siap antisipasi dari sekarang karena suatu saat energi fosil kita akan habis. Sebelum habis negara-negara maju sudah menyiapkannya bahwa suatu saat mereka harus mampu menyiapkan energi untuk negara mereka sendiri," kata Mustafa.
Pasalnya, energi fosil yang selama ini digunakan, hanya bisa memenuhi kebutuhan domestik hingga tahun 2026, selanjutnya pasokan EBT dapat meneruskan hingga tahun 2031.
"Namun sejak tahun 2032 jumlah impor energi sudah lebih banyak daripada produk energi domestik, sehingga Indonesia akan menjadi net importir energi sejak tahun 2032," tuturnya.
Selain Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, ASG juga menghadirkan narasumber lain, yaitu Penasihat utama ASG untuk Asia Pasific, Ratih Hardjono, Climate Energy Manager WWF Indonesia, Indra Sari Wardhani, Juru Bicara Kesepuhan Ciptagelar, Yoyo Yogasmana, dan Wartawan Mongabay, Tommy Apriando.*
Baca juga: Hasil pembangkit listrik panas bumi di Solok Selatan di atas perkiraan
Baca juga: Pembangkit Geothermal bantu bangun infrastruktur daerah
"Indonesia termasuk tiga atau empat besar negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia. Tapi, panas bumi biasanya di wilayah gunung, agak jauh dari fasilitas kota. Itu salah satu kendalanya," ujar Kepala Balai Besar Teknologi Konversi Energi, BPPT, Mohammad Mustafa Sarinanto di lokakarya 'Menelaah Arti Penting Energi Terbarukan di Indonesia' yang digelar Allbright Stonebridge Group (ASG) Indonesia di Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu.
Menurutnya, berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2019, Perusahaan Listrik Negara (PLN) mulai melirik Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) skala kecil 5 Mega Watt (MW) dan juga PLTP binery cycle di Lahendong dan Gunung Salak.
Potensi PLTP skala kecil 5 MW itu tersebar di beberapa lokasi, seperti Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Meski begitu, menurut Mustafa pemanfaatan EBT sampai saat ini masih didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), diikuti oleh energi biomassa, panas bumi, dan biodiesel.
"Yang jelas energi terbarukan itu kebutuhan zaman. Kita harus siap-siap antisipasi dari sekarang karena suatu saat energi fosil kita akan habis. Sebelum habis negara-negara maju sudah menyiapkannya bahwa suatu saat mereka harus mampu menyiapkan energi untuk negara mereka sendiri," kata Mustafa.
Pasalnya, energi fosil yang selama ini digunakan, hanya bisa memenuhi kebutuhan domestik hingga tahun 2026, selanjutnya pasokan EBT dapat meneruskan hingga tahun 2031.
"Namun sejak tahun 2032 jumlah impor energi sudah lebih banyak daripada produk energi domestik, sehingga Indonesia akan menjadi net importir energi sejak tahun 2032," tuturnya.
Selain Balai Besar Teknologi Konversi Energi BPPT, ASG juga menghadirkan narasumber lain, yaitu Penasihat utama ASG untuk Asia Pasific, Ratih Hardjono, Climate Energy Manager WWF Indonesia, Indra Sari Wardhani, Juru Bicara Kesepuhan Ciptagelar, Yoyo Yogasmana, dan Wartawan Mongabay, Tommy Apriando.*
Baca juga: Hasil pembangkit listrik panas bumi di Solok Selatan di atas perkiraan
Baca juga: Pembangkit Geothermal bantu bangun infrastruktur daerah
Pewarta: M Fikri Setiawan
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: