Jakarta (ANTARA) - Kebijakan moratorium perizinan untuk kawasan hutan primer dan gambut di berbagai kawasan Nusantara selayaknya harus dipermanenkan karena memiliki banyak manfaat bagi kinerja sektor kehutanan nasional.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Muhammad Diheim Biru, Rabu, mengatakan, upaya pemberlakuan moratorium ini merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk melindungi kekayaan biodiversitas untuk mencegah kepunahan, investasi jangka panjang, pemenuhan komitmen terhadap konvensi perubahan iklim internasional, dan meredam konflik antar pihak dengan kepentingan yang berbeda.
Selain itu, ujar dia, pemberlakuan moratorium ini juga merupakan upaya pemerintah yang jelas untuk menurunkan angka emisi gas rumah kaca yang ditargetkan pada 2030 mendatang sebesar 29 persen.
"Namun target ini dikhawatirkan tidak akan mampu dipenuhi Indonesia kalau stok karbon saat ini masih terhapus perlahan-lahan dan tidak juga terdeteksi," kata Muhammad Diheim Biru.
Belum lagi, lanjut dia, terdapat studi dari lembaga riset internasional yang menunjukkan bahwa Indonesia hanya mampu menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 19 persen pada tahun 2030 meskipun sudah mengikuti kebijakan dengan taat untuk menjaganya.
Muhammad Diheim Biru juga menekankan bahwa hutan primer di Indonesia berkontribusi sebagai penyimpan keanekaragaman hayati beragam.
"Sebagai salah satu stok penyimpan karbon terbesar di dunia, keberadaan hutan primer juga merupakan nilai penting bagi kelompok adat tertentu di daerah sekitarnya. Keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya menjadi pemberi jasa terbesar untuk banyak kehidupan di dalamnya termasuk manusia, yaitu udara bersih, pengatur iklim, filter air bersih, penstabilan struktur tanah dan jasa ekosistem lainnya," jelasnya.
Sebagai penyimpan stok karbon terbesar, menurut Diheim, hutan primer Indonesia merupakan salah satu penyerap karbon terbesar di dunia. Apabila ada bagian hutan tersebut yang mati, maka akan banyak unsur karbon yang terlepas sebagai gas rumah kaca.
Berdasarkan kajian Bank Dunia, hal inilah yang menyebabkan Indonesia menjadi salah satu penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi di dunia (peringkat keempat pada tahun 2015).
Di sisi lain, nilai intrinsik yang dimiliki oleh hewan dan tanaman tertentu di dalam hutan primer juga bermakna sekali bagi komunitas lokal tertentu dan berpotensi dijadikan sebagai warisan bangsa seperti tanaman Keruing, Ulin dan Kempas, yang endemik atau khas di pulau Kalimantan dan Sumatera.
"Hutan primer dan kawasan gambut sudah dicantumkan sebagai kawasan konservasi. Sayangnya, karena bersinggungan dengan izin konsesi lahan, terkadang kawasan ini dapat terkena imbasnya. Harus terdapat ketegasan untuk menjaga kawasan konservasi dengan ketat, tidak hanya dengan patroli perbatasan secara manual, tetapi juga dengan teknologi terkini," ucapnya.
Untuk itu, ujar dia, pemda sudah seharusnya diberikan kapasitas dan perangkat monitoring serta evaluasi lahan hutan yang memadai untuk memantau penggunaan lahan kawasan hutan dengan intensif di daerah masing-masing, terutama yang bersangkutan dengan hutan primer mulai dari sekarang.
Hal tersebut, lanjutnya, bisa seperti penggunaan teknologi pemantauan satelit Global Forest Watch dan sistem pelaporan SMART Patrol yang komprehensif dan mudah di tingkat dinas kabupaten atau kecamatan.
Sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya yang menjadi salah satu penelis pada diskusi interaktif bertajuk Forest for Peace and Well-Being: Towards a Brighter Future, di Asia Pacific Forestry Week (APFW) 2019 di Incheon, Korea Selatan, beberapa waktu lalu, menyampaikan komitmen pemerintah terkait penundaan perizinan baru atau moratorium untuk pengelolaan hutan dan lahan gambut.
Baca juga: Menteri LHK sampaikan komitmen moratorium hutan di Korsel
CIPS: Moratorium perizinan kawasan hutan primer-gambut harus permanen
19 Juni 2019 17:39 WIB
Pemandangan hutan di kawasan Kalimantan Tengah. (ANTARA FOTO)
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: