KKP : informasi ilmiah di media kerap kali timbulkan polemik
19 Juni 2019 11:26 WIB
Suasana puncak Gunung Merapi di kawasan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, Kamis (13/6/2019). Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) mempertahankan status Gunung Merapi pada Level II atau Waspada dan untuk sementara tidak merekomendasikan kegiatan pendakian kecuali untuk kepentingan penyelidikan dan penelitian yang berkaitan dengan mitigasi bencana. ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/aww.
Kabupaten Bogor (ANTARA) - Informasi ilmiah tentang kebencanaan yang disampaikan pakar dan dimuat di media massa kerap kali menimbulkan polemik dan keresahan di masyarakat, Kepala Seksi Mitigasi Bencana Pesisir Kementerian Kelautan dan Perikanan Abdul Muhari
"Misalnya informasi tentang potensi gempa di Jakarta pada 2011 dan megatrust pada 2018," kata Muhari dalam salah satu sesi Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan 2019 yang diadakan di Kompleks Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia (IPSC) Sentul, Kabupaten Bogor, Rabu.
Muhari mengatakan informasi ilmiah yang masih mentah dari peneliti, kerap kali ditangkap media secara salah akibat interpretasi wartawan yang tidak sama dengan yang disampaikan peneliti.
Akibatnya, informasi yang ditangkap masyarakat melalui pemberitaan di media massa menjadi tidak lengkap. Perlu ada pelurusan informasi, tetapi tidak banyak dilakukan oleh media.
"Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang menjadi pemadam kebakaran. Dalam kasus informasi gempa di Jakarta dan megatrust, BMKG menyatakan itu adalah potensi, bukan prediksi," tuturnya.
Masalah lain juga muncul dari sisi peneliti. Muhari menilai kadang peneliti juga bersikap egois, hanya mau menyampaikan apa yang dia tahu tanpa memikirkan dampaknya terhadap publik.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Universitas Pertahanan dan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) mengadakan Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan 2019 di Kompleks Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia (IPSC), Sentul, Kabupaten Bogor.
Pertemuan tersebut merupakan pelaksanaan yang keenam untuk mengumpulkan para ahli kebencanaan untuk meningkatkan budaya riset dan memberikan pemikiran secara komprehensif, holistik, dan sistemik.
Baca juga: Konferensi internasional kebencanaan akan digelar di Lombok
Baca juga: BMKG butuh satelit komunikasi monitoring khusus kebencanaan
"Misalnya informasi tentang potensi gempa di Jakarta pada 2011 dan megatrust pada 2018," kata Muhari dalam salah satu sesi Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan 2019 yang diadakan di Kompleks Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia (IPSC) Sentul, Kabupaten Bogor, Rabu.
Muhari mengatakan informasi ilmiah yang masih mentah dari peneliti, kerap kali ditangkap media secara salah akibat interpretasi wartawan yang tidak sama dengan yang disampaikan peneliti.
Akibatnya, informasi yang ditangkap masyarakat melalui pemberitaan di media massa menjadi tidak lengkap. Perlu ada pelurusan informasi, tetapi tidak banyak dilakukan oleh media.
"Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika yang menjadi pemadam kebakaran. Dalam kasus informasi gempa di Jakarta dan megatrust, BMKG menyatakan itu adalah potensi, bukan prediksi," tuturnya.
Masalah lain juga muncul dari sisi peneliti. Muhari menilai kadang peneliti juga bersikap egois, hanya mau menyampaikan apa yang dia tahu tanpa memikirkan dampaknya terhadap publik.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bersama Universitas Pertahanan dan Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia (IABI) mengadakan Pertemuan Ilmiah Tahunan Riset Kebencanaan 2019 di Kompleks Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia (IPSC), Sentul, Kabupaten Bogor.
Pertemuan tersebut merupakan pelaksanaan yang keenam untuk mengumpulkan para ahli kebencanaan untuk meningkatkan budaya riset dan memberikan pemikiran secara komprehensif, holistik, dan sistemik.
Baca juga: Konferensi internasional kebencanaan akan digelar di Lombok
Baca juga: BMKG butuh satelit komunikasi monitoring khusus kebencanaan
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: