Menteri LHK sampaikan komitmen moratorium hutan di Korsel
18 Juni 2019 18:25 WIB
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat menjadi panelis pada diskusi interaktif bertajuk “Forest for Peace and Well-Being: Towards a Brighter Future,” di Asia Pacific Forestry Week (APFW) 2019 di Incheon, Korea Selatan, Selasa (18/6/2019). ANTARA/HO-Dok. KLHK/aa
Jakarta (ANTARA) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya yang menjadi salah satu penelis pada diskusi interaktif bertajuk Forest for Peace and Well-Being: Towards a Brighter Future di Asia Pacific Forestry Week (APFW) 2019 di Incheon, Korea Selatan, menyampaikan komitmen pemerintah RI terkait penundaan perizinan baru atau moratorium untuk pengelolaan hutan dan lahan gambut.
Siti dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa, mengatakan korektif ini efektif sebagai pintu masuk untuk menata kembali pengelolaan hutan dan kehutanan Indonesia, termasuk dalam pengelolaan konflik, pencegahan kebakaran hutan, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Kebijakan moratorium merupakan salah satu bagian dari pendekatan lanskap dalam pengelolaan hutan Indonesia yang menempatkan interaksi antara ekosistem dan menusia sebagai sebuah kesatuan yang penting.
Pendekatan ini, menurut dia, sesuai dengan kebijakan perhutanan sosial untuk mendukung fungsi hutan sebagai medium mencapai perdamaian dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tema acara.
Hingga 2014, data menunjukkan bahwa alokasi untuk perusahaan swasta yang memiliki konsesi adalah 98,53 persen, hanya 1,35 persen untuk masyarakat.
Selama 2015-2019 angkanya berubah secara signifikan di mana masyarakat dialokasikan lebih dari 13,8 persen (5,8 juta hektare/ha) melalui reformasi agraria dari lahan hutan (2,4 juta ha) dan kehutanan sosial (3,4 juta ha).
Target pemerintah, Reforma Agraria akan mencakup 4,1 juta ha dan kehutanan sosial akan mencakup 12,7 juta ha. Data hingga Mei 2019 menunjukkan bahwa ada 472.000 hutan adat dan akan mencapai 6,3 juta ha.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo berkomitmen dalam menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Baca juga: Moratorium izin pengelolaan hutan hendaknya dibarengi reboisasi
Baca juga: Presiden perpanjang moratorium izin tata kelola hutan
Siti dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa, mengatakan korektif ini efektif sebagai pintu masuk untuk menata kembali pengelolaan hutan dan kehutanan Indonesia, termasuk dalam pengelolaan konflik, pencegahan kebakaran hutan, penegakan hukum, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Kebijakan moratorium merupakan salah satu bagian dari pendekatan lanskap dalam pengelolaan hutan Indonesia yang menempatkan interaksi antara ekosistem dan menusia sebagai sebuah kesatuan yang penting.
Pendekatan ini, menurut dia, sesuai dengan kebijakan perhutanan sosial untuk mendukung fungsi hutan sebagai medium mencapai perdamaian dan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana tema acara.
Hingga 2014, data menunjukkan bahwa alokasi untuk perusahaan swasta yang memiliki konsesi adalah 98,53 persen, hanya 1,35 persen untuk masyarakat.
Selama 2015-2019 angkanya berubah secara signifikan di mana masyarakat dialokasikan lebih dari 13,8 persen (5,8 juta hektare/ha) melalui reformasi agraria dari lahan hutan (2,4 juta ha) dan kehutanan sosial (3,4 juta ha).
Target pemerintah, Reforma Agraria akan mencakup 4,1 juta ha dan kehutanan sosial akan mencakup 12,7 juta ha. Data hingga Mei 2019 menunjukkan bahwa ada 472.000 hutan adat dan akan mencapai 6,3 juta ha.
Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo berkomitmen dalam menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat untuk mengelola sumber daya hutan agar dapat meningkatkan kesejahteraan mereka.
Baca juga: Moratorium izin pengelolaan hutan hendaknya dibarengi reboisasi
Baca juga: Presiden perpanjang moratorium izin tata kelola hutan
Pewarta: Virna P Setyorini
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019
Tags: