Musik Jadi Alternatif Perlawanan Mahasiswa di Zaman Soeharto
28 Januari 2008 20:59 WIB
London (ANTARA News) - Musik sering digunakan mahasiswa Indonesia untuk menggalang solidaritas sekaligus menjadi alat perlawanan terhadap pemerintahan masa kepemimpinan Presiden Kedua RI, Soeharto, yang meninggal dunia pada Minggu (27/1) di Jakarta.
Hal itu terungkap dalam diskusi musik yang digelar Persatuan Pelajar Indonesia-Masyarakat Indonesia Brmingham (PPI MIB) menampilkan James Lapian, mantan personil Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (OM PSP), Benny Soebardja, mantan personel band Giant Step dan Shark Move, serta pengamat musik tahun 1970-an, Riza Sihbudi, yang kini menjabat Atase Pendidikan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London, Inggris.
Diskusi musik Indonesia diadakan di Students’ Guild Birmingham University itu juga dihadiri Wakil Duta Besar (Dubes) Indonesia di Inggris (KUAI), Dewa Made Sastrawan, mantan wartawan majalah musik Aktuil, Maman HS, yang juga mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, ujar anggota PPI MIB, Agam Fatchurrochman, kepada ANTARA News di London, Senin.
James Lapian menceritakan, musik pada tahun 1970-an digunakan oleh mahasiswa untuk menggalang solidaritas melawan penguasa yang terlihat semakin korup. Oleh karena itu, ia dan kawan-kawannya membuat plesetan OM yang biasanya akronim dari Orkes Melayu menjadi Orkes Moral.
"Waktu itu, kami main di depan Pak Harto ketika ada acara mengenai pemuda di Jakarta. Kami menyanyikan lagu yang menyindir Abdul Gafur, Menteri Pemuda saat itu," ujar James, yang kini menjadi wartawan BBC London.
Sebelumnya, Benny Soebardja, menyebutkan bahwa saat itu musik terbagi dalam tiga aliran, yaitu dangdut, yang disukai kalangan bawah, pop yang cenderung cengeng yang digemari semua kalangan, dan rock di kalangan anak muda.
James menimpali, bagaimana OM PSP secara sadar memilih musik dangdut untuk mendekatkan persoalan masyarakat biasa ke kalangan mahasiswa. "Mahasiswa saat itu terlalu elitis," ujarnya.
Musik yang disukai, menurut dia, termasuk yang bernada protes, seringkali berbahasa Inggris, sehingga mahasiswa menjadi berjarak dengan kondisi masyarakat sekitarnya, dan gerakan protes tidak bisa meluas, ujar James yang kini menetap di London.
Hal ini diakui Benny Soebardja, yang kini berprofesi menjadi pengusaha funiture. Ia menceritakan, kalau lagu-lagu protesnya lebih banyak berbahasa Inggris. "Soalnya, intel 'nggak' bakalan 'ngerti' bahasa Inggris," ujarnya sambil tergelak. Tetapi, ia menyatakan, hal ini harus dibayar dengan tetap elitnya gerakan mahasiswa saat itu.
Meski berbahasa Inggris, Benny pernah ditangkap tentara, karena seringnya menyanyi dibanyak demonstrasi dan acara mahasiswa sekitar tahun 1978. "Mereka berpikir, saya pimpinan demo itu, hanya karena saya sering bernyanyi di depan massa," katanya.
Dalam diskusi musik yang mendapat sambutan dari masyarakat Indonesia yang datang dari berbagai kota di Kerajaan Britania Raya itu juga warga Inggris, Benny dan James bermain gitar sambil mencontohkan bagaimana lagu-lagu protes mahasiswa saat itu, terutama lagu anti-perang Vietnam dari Bob Dylan dan Joan Baez yang diadaptasi menjadi lagu kritik kepada Soeharto, serta lagu mereka sendiri.
Diskusi semakin hangat karena peserta membandingkan dengan lagu-lagu gerakan mahasiswa 1980-an hingga 1990-an yang berhasil menyatukan mahasiswa dengan rakyat, seperti Darah Juang yang juga populer di kalangan non-mahasiswa.
Pada akhir acara, beberapa peserta mengharapkan kegiatan semacam ini bisa terus dilembagakan, apakah melalui diskusi semacam ini konser musik bagi masyarakat Indonesia maupun membuka cabang Komunitas Pencinta Musik Indonesia di Inggris, demikian Agam Fatchurrochman. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008
Tags: