Jakarta (ANTARA) - Bisnis investasi perikanan yang dijalankan di berbagai daerah diharapkan jangan hanya mencari laba semata tetapi juga berkontribusi sebesar-besarnya terhadap pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar lokasi bisnis tersebut.

"Kebijakan pemerintah dalam kerja sama penanaman modal asing yakni investor melakukan kemitraan dengan stakeholder Indonesia, tidak hanya berbasis corporate based, namun ada pemberdayaan masyarakat, sehingga ada share ekonomi ke masyarakat sekitar yang akan menjamin keberlanjutan usaha perikanan budidaya dan tidak memicu kecemburuaan sosial," kata Dirjen Perikanan Budidaya KKP, Slamet Soebjakto, dalam rilis, Sabtu.

Menurut Slamet, potensi lahan budidaya air tawar Indonesia masih sangat besar dan belum termanfaatkan secara optimal.

Hal tersebut, lanjutnya, bisa menjadi peluang usaha asalkan harus dilakukan secara berkelanjutan, bertanggung jawab, dan tidak merusak lingkungan.

Sebelumnya, Slamet menyatakan bahwa program asuransi perikanan yang dimiliki pemerintah menambah semangat pembudidaya karena memberikan ketenangan mereka karena usaha mereka terjamin oleh asuransi.

"Program APPIK (Asuransi Perikanan untuk Pembudidaya Ikan Kecil) yang dilakukan oleh KKP sejak tahun 2017 lalu telah berpengaruh nyata terhadap aktivitas usaha budidaya karena mampu memberikan jaminan usaha, motivasi, dan semangat bagi para pembudidaya," katanya.

Ia memaparkan, hingga tahun 2018 lalu, cakupan asuransi APPIK telah mencapai hingga seluas 13.520 hektare yang terletak di berbagai daerah.

Ia juga menyatakan, jika pada 2017 hanya untuk usaha budidaya udang, sejak tahun 2018 juga telah mencakup komoditas lainnya yaitu patin, nila salin, nila tawar, dan bandeng, baik dengan metode monokultur atau polikultur untuk komoditas air payau.

Ia menjelaskan, besaran premi udang adalah Rp225.000 per hektar/tahun dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp7,5 juta per hektare/tahun.

Sementara premi ikan patin Rp90.000 per 250 meter persegi kolam/tahun dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp3 juta.

Adapun premi nila tawar sebesar Rp135.000 per 200 meter persegi kolam/tahun dengan maksimum pertanggungan sebesar Rp4,5 juta per tahun.

Selanjutnya, premi nila payau Rp150.000 per hektar/tahun dengan nilai pertanggungan maksimum sebesar Rp5 juta per hektar/tahun.

Komoditas lainnya yaitu bandeng dengan premi Rp90.000 per hektar/tahun dan polikultur Rp225.000 per hektar/tahun dengan maksimum pertanggungan masing-masing Rp3 juta dan Rp7,5 juta per hektar/tahun.

“Kita sudah masuk bulan Juni tahun 2019. Saya sudah instruksikan seluruh Satker lingkup DJPB untuk segera mempercepat realisasi program-program prioritas yang sudah ditetapkan," ucapnya.

Baca juga: Penggunaan aplikasi internet dapat jadi model baru bisnis perikanan

Baca juga: Menteri Susi minta bisnis perikanan sinergi dengan pariwisata