Jakarta (ANTARA) - Rektor IPB Dr Arif Satria menyampaikan usulan empat strategi pertanian digital untuk negara berkembang, dalam pertemuan Organisasi Pangan dan Pertanian Sedunia atau Food Agriculture Organization (FAO) tentang "Digital Agriculture: Challenges to be Addressed" pada 12-13 Juni 2019 di Kantor Pusat FAO Roma, Italia.

Empat strategi pertanian digital tersebut, yakni pertama, pengembangan masyarakat di pedesaan agar lebih siap dalam memanfaatkan inovasi digital.

"IPB pernah mengembangkan peningkatan literasi digital petani di delapan provinsi dan tujuh belas kabupaten bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI," kata Arif dalam siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Sabtu.

Selain literasi digital, lanjut dia, IPB juga memiliki program Precision Village yang membantu masyarakat desa melakukan perencanaan desa presisi berbasis data dan teknologi digital dengan menerapkan pemetaan partisipatif berbasis drone.

Usulan strategis kedua, peta jalan riset Agro-Maritim 4.0, agar riset-riset lebih terarah dengan hasil yang terukur dan bermanfaat secara konkrit di masyarakat.

Ketiga, kerangka implementasi konsep Agro-Maritim 4.0 agar pelaku usaha dari berbagai lapisan sosial mampu menerapkan model pertanian digital ini.

Menurut dia, ini penting karena pelaku agro-maritim di dunia ketiga beragam, ada yang sudah siap dengan teknologi dan ada yang belum.

"Di sinilah kolaborasi antar pemangku kepentingan diperlukan, dan perlu dukungan lembaga internasional seperti FAO dan The International Fund for Agricultural Development (IFAD)," kata Arif.

Keempat, lanjut Arif, kerangka regulasi harus segera disiapkan, mumpung implementasi pertanian digital ini belum cukup marak. Selama ini regulasi selalu terlambat dibandingkan dengan perkembangan teknologi.

Ia mengatakan dalam regulasi ini perlu ditekankan afirmasi untuk petani skala kecil sehingga mereka bisa menjadi bagian penting dalam transformasi pertanian modern ini.

Arif menjadi satu-satunya pembicara dari unsur perguruan tinggi yang diundang hadir dalam pertemuan dengan FAO di Roma, terkait pertanian digital.

Dalam pertemuan tersebut mantan Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) itu menyampaikan pokok-pokok pikiran dan memaparkan konsep IPB University tentang Agromaritim 4.0.

Arif juga memperkenalkan 25 inovasi digital karya dosen dan mahasiswa IPB baik untuk adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim, serta untuk ketahanan pangan.

Beberapa inovasi yang dikenalkan dalam kesempatan tersebut yakni tentang Fire Risk System (FRS) yang merupakan sistem digital yang mampu memprediksi kebakaran hutan untuk enam bulan ke depan di sepuluh provinsi.

"Sistem ini sudah disampaikan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. Begitu juga National Forest Monitoring untuk peringatan dini deforestasi," katanya.

Selain itu dikenalkan juga Underwater Televisual System (UTS) untuk memonitor ekosistem bawah laut secara digital dan TrekFish yang merupakan alat perekam jejak jalur penangkapan ikan yang penting untuk mendukung Seafood Import Monitoring (SIM) dan menjamin keterlusuran.

Sementara itu, untuk menunjang ketahanan pangan, inovasi IPB yang dipaparkan antara lain Smart Seed', yang merupakan aplikasi yang menggunakan satelit, pemodelan iklim, big data, dan internet of things berbasis android untuk 100 ribu petani sayuran di Indonesia.

"Ada juga sistem pintar pengendalian hama dan penyakit tanaman, sistem pintar pengembangan agrologistik berbasis blockchain, serta PreciPalm yang merupakan sistem rekomendasi pemupukan presisi berbasis satelit agar pemupukan lebih efisien dan efektif," katanya.

Acara yang dibuka langsung oleh Director General FAO Jose Graziano da Silva, dihadiri sekitar 250 peserta dari negara anggota baik para menteri, duta besar, para pejabat kementerian, serta pimpinan FAO dan lembaga multilateral.

Hadir dalam forum ini Esti Andayani Duta Besar RI di Roma didampingi Atase Pertanian Ida Ayu Ratih.

Dalam kesempatan tersebut Arif menyampaikan bahwa pertanian digital sudah menjadi keniscayaan. Namun demikian juga perlu disadari bahwa kondisi dunia ketiga dicirikan dengan mayoritas petani skala kecil. "Oleh karena itu, pengembangan pertanian digital menghadapi tantangan tersendiri," kata Arif.

Baca juga: FAO akui upaya Kementerian Pertanian untuk kendalikan flu burung

Baca juga: FAO dorong Asia Tenggara berdayakan keluarga petani