Pengacara minta pembeberan bukti hingga gelar perkara kasus Kivlan Zen
14 Juni 2019 19:46 WIB
Arsip. Tersangka kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal Kivlan Zen (tengah) dikawal polisi usai menjalani pemeriksaan di Ditreskrimum, Polda Metro Jaya, Jakarta, Kamis (30/5/2019). (ANTARA/RENO ESNIR)
Jakarta (ANTARA) - Kuasa Hukum Kivlan Zen, Muhammad Yuntri, meminta polisi membeberkan bukti pembelian senjata api hingga gelar perkara atas kasus yang dituduhkan kepada kliennya yakni kepemilikan senjata api ilegal.
"Kalau ada pembelian senjata berarti ada transaksi, mana uangnya, mana barangnya, mana bukti kuitansi. Polisi harus buktikan itu. Kalau seandainya enggak bisa buktikan begitu, berarti ini subjektif sekali, terlebih gelar perkara saja belum, sudah tersangka," kata Yuntri di Polda Metro Jaya, Jumat.
Yuntri menilai purnawirawan berpangkat Mayor Jenderal itu ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan senjata api ilegal hanya atas pengembangan kasus anak buahnya Iwan Kurniawan alias Helmi Kurniawan (HK). Karenanya, dia meminta polisi melakukan gelar perkara bersama tim kuasa hukum Kivlan.
"Tuduhan-tuduhan tentu ada ukurannya, ada ujinya. Gelar saja perkara kalau mereka mengaku ini ada suatu bukti sehingga Pak Kivlan bisa dijadikan tersangka. Kan kita uji terbuka dong, jangan sampai berdasarkan subjektivitas polisi saja," ujar Yuntri.
Yuntri menuturkan polisi bisa melanggar hukum jika tidak membeberkan bukti dan menggelar perkara secara terbuka yang akibatnya aparat penegak hukum bisa diartikan telah menafsirkan pidana.
"Polisi tidak boleh menafsirkan hukum. Polisi itu hanya menerapkan hukum sesuai dengan hukum yang ada. Kewenangannya ada pada KUHAP. Kalau polisi sudah melakukan analogi, penafsiran hukum, wah kacau negara ini nanti," tuturnya.
Kivlan ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu, 29 Mei 2019 dan kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Guntur, Jakarta Selatan, untuk waktu 20 hari.
Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka dugaan makar di Bareskrim Polri. Kasus dugaan kepemilikan senjata api yang menjerat Kivlan berkaitan dengan penetapan enam tersangka yang diduga menunggangi aksi demonstrasi penolakan hasil pemilu pada Selasa, 21-Rabu, 22 Mei 2019 lalu.
Enam orang itu yakni IK alias HK, AZ, IR, TJ, AD, dan AF. Dari kelompok tersebut, kepolisian menyita empat senjata api ilegal. Dua senjata api diantaranya rakitan.
Dalam pembelian senjata api itu, Kivlan Zen yang juga merupakan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu, diduga menerima uang dari politikus PPP Habil Marati sebesar SGD15 ribu atau setara Rp150 juta.
Disebutkan, Kivlan memberikan uang itu kepada anak buahnya, Iwan Kurniawan (IK) alias Helmi Kurniawan (HK) untuk membeli senjata laras panjang dan pendek. Senjata itu disebut untuk menembak mati Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Baca juga: Kivlan Zen diperiksa sebagai saksi kasus penyandang dana kericuhan
Baca juga: Ryamizard tegaskan kasus Kivlan Zen harus diselesaikan secara hukum
Baca juga: Moeldoko: Negara konsisten tegakkan hukum terkait kasus Kivlan Zen
"Kalau ada pembelian senjata berarti ada transaksi, mana uangnya, mana barangnya, mana bukti kuitansi. Polisi harus buktikan itu. Kalau seandainya enggak bisa buktikan begitu, berarti ini subjektif sekali, terlebih gelar perkara saja belum, sudah tersangka," kata Yuntri di Polda Metro Jaya, Jumat.
Yuntri menilai purnawirawan berpangkat Mayor Jenderal itu ditetapkan sebagai tersangka kepemilikan senjata api ilegal hanya atas pengembangan kasus anak buahnya Iwan Kurniawan alias Helmi Kurniawan (HK). Karenanya, dia meminta polisi melakukan gelar perkara bersama tim kuasa hukum Kivlan.
"Tuduhan-tuduhan tentu ada ukurannya, ada ujinya. Gelar saja perkara kalau mereka mengaku ini ada suatu bukti sehingga Pak Kivlan bisa dijadikan tersangka. Kan kita uji terbuka dong, jangan sampai berdasarkan subjektivitas polisi saja," ujar Yuntri.
Yuntri menuturkan polisi bisa melanggar hukum jika tidak membeberkan bukti dan menggelar perkara secara terbuka yang akibatnya aparat penegak hukum bisa diartikan telah menafsirkan pidana.
"Polisi tidak boleh menafsirkan hukum. Polisi itu hanya menerapkan hukum sesuai dengan hukum yang ada. Kewenangannya ada pada KUHAP. Kalau polisi sudah melakukan analogi, penafsiran hukum, wah kacau negara ini nanti," tuturnya.
Kivlan ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu, 29 Mei 2019 dan kini ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Guntur, Jakarta Selatan, untuk waktu 20 hari.
Ia ditetapkan sebagai tersangka setelah menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka dugaan makar di Bareskrim Polri. Kasus dugaan kepemilikan senjata api yang menjerat Kivlan berkaitan dengan penetapan enam tersangka yang diduga menunggangi aksi demonstrasi penolakan hasil pemilu pada Selasa, 21-Rabu, 22 Mei 2019 lalu.
Enam orang itu yakni IK alias HK, AZ, IR, TJ, AD, dan AF. Dari kelompok tersebut, kepolisian menyita empat senjata api ilegal. Dua senjata api diantaranya rakitan.
Dalam pembelian senjata api itu, Kivlan Zen yang juga merupakan mantan Kepala Staf Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu, diduga menerima uang dari politikus PPP Habil Marati sebesar SGD15 ribu atau setara Rp150 juta.
Disebutkan, Kivlan memberikan uang itu kepada anak buahnya, Iwan Kurniawan (IK) alias Helmi Kurniawan (HK) untuk membeli senjata laras panjang dan pendek. Senjata itu disebut untuk menembak mati Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Baca juga: Kivlan Zen diperiksa sebagai saksi kasus penyandang dana kericuhan
Baca juga: Ryamizard tegaskan kasus Kivlan Zen harus diselesaikan secara hukum
Baca juga: Moeldoko: Negara konsisten tegakkan hukum terkait kasus Kivlan Zen
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2019
Tags: