Jakarta (ANTARA) - Ketika mencari lagu-lagu lama Melayu Deli di mesin pencari google, Rabu (12/6) malam, saya bertemu berita di http://harian.analisadaily.com, Minggu, 4 Februari 2018. Berita itu berjudul: Nurainun, Si Penyanyi Buluh Perindu.
Belum selesai membaca berita ini, sudut mata terasa basah. Diberitakan, Nurainun --penyanyi legendaris Melayu Deli era 1950-1970an-- tinggal di rumah panggung berukuran 3 x 6 meter, di Pasar III Jalan Panglima Denai, Medan Deli. Halaman rumahnya terlihat penuh lumpur, sisa-sisa banjir yang jadi langganan saat hujan lebat mengguyur.
Saya salah seorang dari jutaan penggemar lagu-lagu Nurainun. Sejak kecil di Batubara, Sumatera Utara, tahun 70-an, saya sudah mendengar lagu-lagu Nurainun melalui radio RRI Medan, di antaranya Sri Deli, Dayang Senandung, Keluhan Jiwa, dan Bunga dalam Taman.
Cengkok Melayu Nurainun, yang khas dan terbaik, memengaruhi banyak penyanyi setelahnya, termasuk penyanyi Malaysia era Shraifa Aini dan Rafeah Buang, juga Rinto Harahap dengan The Mercys dalam album Melayu mereka.
Nurainun --kini berusia 84 tahun-- penyanyi legendaris Melayu Deli. Lagu-lagunya populer pada 1950-1970an. Di masa kejayaannya, Nurainun bersama Orkes Sukma Murni diundang menyanyi oleh Presiden Sukarno, Perdana Menteri Malaysia Tengku Abdul Rahman. Juga melakukan pertunjukan di Jakarta, Singapura, Malaysia, dan Australia.
Nurainun juga sering diundang nyanyi bersama P Ramlee dan Saloma. Setidaknya, ada 20 rekaman album Nurainun, termasuk rekaman piring hitam oleh Swee Wah Enterprise, Kuala Lumpur. Lagu-lagu yang direkam antara lain karya komponis terkemuka Medan, Lily Suheri dan Mohammad Nasir Nasution.
Mus Mualim, musisi terkemuka suami Titik Puspa, pada 1970-an, mengajak Nurainun pindah ke Jakarta untuk pengembangan kariernya, namun Nurainun memilih tetap di Medan dan sukses materi bukan tujuannya.
Musik Melayu, yang kita dengar saat ini --sebelum versi dangdut-- bermula dari musik Melayu Deli pada tahun 40-an. Alat musiknya, antara lain rebana, biola, akordion, dan tiupan serunai. Pada 1950-an, Husein Bawafie dan Mashabi melakukan pembaharuan. Musik Melayu lebih dinamis dan melepaskan unsur pantun pada liriknya. Penyanyi-penyanyi ketika itu antara lain Said Effendi, Juhana Satar, dan Hasnah Thahar.
Dari bawah
Nurainun lahir di Stabat, Langkat, Sumatera Utara, 7 November 1935. Bakat bermusik mengalir dari ayahnya, OK Mohammad Sidik, pemusik Langkat Band, yang biasa mengiringi pentas opera bangsawan di Kesultanan Langkat.
Di grup musik pimpinan Muhammad Darus --ayah Prof Mariam Darus-- itu, ayahnya memainkan terompet, biola, dan harmonium. Alat-alat musik itu disimpan di rumah ayahnya. Nurainun kecil suka memainkan alat-alat tersebut.
Ketika berusia 8 tahun, Nurainun tinggal di Kompleks Istana Maimun, bersama keluarga uwaknya. Nurainun menikmati sekali pertunjukkan Orkes Melayu Sukma Murni, saat acara pernikahan anak Sultan Deli. Selama sekitar dua pekan, ia tak pernah absen menonton.
Pada masa remaja, Nurainun bergabung dengan OM Sukma Murni, salah satu kumpulan terkemuka saat itu. Pada 1951, Nurainun ikut lomba bintang radio RRI Medan. Lagu yang dinyanyikannya, Sri Mersing --lagu klasik Melayu. Nurainun juara pertama. Gelar juara tersebut dipertahankannya selama tujuh kali perlombaan.
Ketika tampil di hadapan publik, suara merdu Nurainun dan pengkhayatan yang bagus, membawa penonton terbuai, bahagia, dan bahkan menangis mengikuti lirik dan alunan lagunya.
Selain menyanyi, Nurainun juga menciptakan belasan lagu Melayu. Lagu-lagunya direkam di kaset dan piringan hitam. Ibu enam anak ini juga merekamkan suaranya untuk lagu-lagu Melayu populer dan berduet, antara lain dengan Tiar Ramon dan Yan Juned.
Dia tidak pernah tahu apakah dapat royalti. Baginya, menyanyi adalah bakat yang diberi Allah. Tugasnya memberikan yang terbaik untuk pendengar. Soal jumlah honor, Ainun tidak mempersoalkannya.*
Di youtube, saya mendengarkan kembali lagu-lagunya. Lagu Keluhan Jiwa mengalun indah:
Teringat daku masa dahulu
Dengan jiwa yang penuh rindu
Tapi masa itu telah berlalu
Kupesan engkau di angin lalu
Sambutlah salam keluhan jiwaku
(Lagu Keluhan Jiwa)
Kini, dalam usianya 84 tahun, Nurainun tetap menerima undangan untuk acara-acara pesta --tetap bernyanyi. "Tidak tahu, entah sampai kapan," katanya.
Saya dengar lagu-lagu Nurainun, berkali-kali, mengantarkan ke masa yang jauh. Sudut mata mulai basah --sambutlah salam di angin lalu.*
*) Asro Kamal Rokan adalah wartawan senior, pernah menjadi Pemimpin Redaksi Republika (2003-2005); Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007); Pemimpin Redaksi Jurnal Nasional (2010-2012), dan Anggota Dewan Kehormatan
PWI Pusat (2008-2013; 2013-2018).
Baca juga: Jakarta Melayu Festival digelar bulan ini
Baca juga: Anies: kekuatan musik Melayu pada syairnya
Telaah
Legenda musik Melayu, Nurainun, terus bernyanyi
Oleh Asro Kamal Rokan *)
13 Juni 2019 15:15 WIB
Legenda musik Melayu, Nurainun (kanan), bersama penyanyi legendaris Malaysia, P Ramlee dan istrinya, Saloma. (Foto Analisadaily)
Copyright © ANTARA 2019
Tags: