Setara: pengungkapan aktor-aktor 21-22 Mei bentuk transparansi Polri
12 Juni 2019 17:02 WIB
Ormas Aliansi Relawan Jokowi (ARJ) menggelar aksi damai di depan Mabes Polri, Jakarta, Selasa (4-6-2019) untuk mendukung Polri segera menuntaskan kasus kericuhan 21 s.d. 22 Mei 2019 di Bawaslu RI sekaligus mengungkap dalang di balik kericuhan tersebut. (Istimewa)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Setara Institute Hendardi menilai pengungkapan aktor-aktor kericuhan 21-22 Mei 2019 oleh Mabes Polri merupakan salah satu bentuk upaya transparansi Polri dalam penanganan peristiwa hukum guna meningkatkan akuntabilitas penyidikan terhadap beberapa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
"Betapa pun keterangan tersebut diragukan oleh beberapa pihak, pemaparan publik oleh Polri telah memberikan pembelajaran berharga bagi warga negara tentang arti penting demokrasi, kebebasan berpendapat, dan nafsu politik para avonturir politik serta conflict entrepreneur yang beroperasi di tengah kekecewaan sebagian publik dan kerumunan massa," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Pengungkapan yang dilakukan oleh Mabes Polri di bawah koordinasi Tim Irwasum Polri memang kurang ideal untuk memperkuat independensi dibanding misalnya dengan membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF).
Akan tetapi pembentukan TGPF biasanya didasari oleh tidak bekerjanya ordinary institution yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
"Sepanjang institusi yang ada sudah bekerja, pembentukan TGPF pun menjadi tidak relevan," katanya.
Upaya hukum yang dilakukan Polri dan menjerat sejumlah purnawirawan TNI dan Polri sudah sepatutnya harus dipandang sebagai proses hukum biasa yang tidak perlu dikaitkan dengan korps atau semangat jiwa korsa para purnawirawan.
Dalam konteks pemilu, jiwa korsa hanya dibenarkan untuk membela demokrasi konstitusional yang tunduk pada supremasi sipil melalui pemilu, bukan pertunjukan anarki yang mengorbankan jiwa-jiwa yang buta politik, sebagaimana terjadi pada tanggal 21 s.d. 22 Mei lalu, katanya.
"Betapa pun keterangan tersebut diragukan oleh beberapa pihak, pemaparan publik oleh Polri telah memberikan pembelajaran berharga bagi warga negara tentang arti penting demokrasi, kebebasan berpendapat, dan nafsu politik para avonturir politik serta conflict entrepreneur yang beroperasi di tengah kekecewaan sebagian publik dan kerumunan massa," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa.
Pengungkapan yang dilakukan oleh Mabes Polri di bawah koordinasi Tim Irwasum Polri memang kurang ideal untuk memperkuat independensi dibanding misalnya dengan membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF).
Akan tetapi pembentukan TGPF biasanya didasari oleh tidak bekerjanya ordinary institution yang diberi mandat oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
"Sepanjang institusi yang ada sudah bekerja, pembentukan TGPF pun menjadi tidak relevan," katanya.
Upaya hukum yang dilakukan Polri dan menjerat sejumlah purnawirawan TNI dan Polri sudah sepatutnya harus dipandang sebagai proses hukum biasa yang tidak perlu dikaitkan dengan korps atau semangat jiwa korsa para purnawirawan.
Dalam konteks pemilu, jiwa korsa hanya dibenarkan untuk membela demokrasi konstitusional yang tunduk pada supremasi sipil melalui pemilu, bukan pertunjukan anarki yang mengorbankan jiwa-jiwa yang buta politik, sebagaimana terjadi pada tanggal 21 s.d. 22 Mei lalu, katanya.
Pewarta: M Arief Iskandar
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: