Tanggapan konsumen atas rencana pelarangan diskon ojek online
12 Juni 2019 16:40 WIB
Sejumlah pengemudi ojek daring (online) menunggu penumpang di depan Stasiun Pondok Cina, Kota Depok, Jawa Barat, Selasa (11/6/2019). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) segera mengeluarkan aturan larangan diskon pada transportasi online, termasuk ojek online. (ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya)
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat yang sehari-hari menggunakan transportasi ojek online merasa khawatir dan keberatan atas rencana pemerintah melarang diskon tarif ojek online yang dinilai dapat menimbulkan persaingan tidak sehat.
"Enggak setuju, merugikan penumpang," kata Rizky Fahira, saat dimintai pendapatnya mengenai hal tersebut, Rabu.
Rizky saat ini masih kuliah di tingkat awal, jika tidak membawa kendaraan bermotor pribadi dia akan naik ojek online. Meski pun tidak setiap hari naik ojek online, dia merasa keberatan dengan rencana penghapusan diskon.
"Kebanyakan orang pindah ke ojek online karena ada diskon dan jadi lebih murah," kata dia.
Diskon tarif yang diberikan penyedia jasa pemesanan ojek online menurut dia cukup berarti untuk ongkos jalan sehari-hari, tarif yang dia berikan lebih murah sehingga dia dapat menabung dari sisa ongkos hariannya.
Bernhart Farras, 23, akan berpikir dua kali untuk naik transportasi online jika potongan harga tarif benar-benar dihilangkan karena dia merasa ada kenaikan yang signifikan setelah pemberlakuan tarif baru.
Bernhart semula menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi bekerja, namun, saat ini dia setiap hari naik ojek online minimal untuk perjalanan pergi dan pulang ke kantor.
Dia menganggarkan Rp30.000 hingga Rp40.000 per hari untuk naik ojek online. Jika nanti larangan diskon tarif transportasi online berlaku dan dia perlu transportasi online, maka dia memilih menggunakan ojek ketimbang taksi online karena perbedaan tarif yang signifikan setelah tarif batas atas dan batas bawah berlaku.
Keberatan yang sama juga dirasakan Marsya (26) karena diskon ojek online membantu meringankan pengeluarannya sehari-hari.
"Sedih karena sebagai orang yang sering kesana kemari, ongkos transportasi itu esensial sekali," kata dia.
Dalam sehari Marsya bisa menggunakan ojek online hingga empat kali untuk menunjang aktivitasnya.
Jika diskon ojek online dihapus, dia akan mengurangi frekuensi naik ojek dan lebih banyak menggunakan transportasi online lainnya seperti bus dan angkutan kota atau angkot.
Lain lagi pengalaman Lufthi Anggraeni, dia akan tetap menggunakan ojek online meski pun tidak ada diskon karena alasan waktu. Bagi dia, transportasi umum lainnya memakan lebih banyak waktu perjalanan.
Dia berpendapat ada atau tidak ada diskon tidak berpengaruh banyak karena umumnya dia mendapatkan selisih Rp1.000 antara tarif normal dengan tarif diskon.
Sehari-hari, dia mengeluarkan Rp60.000 hingga Rp100.000 untuk ongkos ojek online.
"Jadi buat saya, dihapus atau nggak, tidak terlalu terasa," kata dia.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta tidak ada lagi diskon tarif ojek online karena hanya memberikan keuntungan untuk sementara.
"Diskon ini memang memberikan keuntungan sesaat, untuk jangka panjang itu membunuh. Itu yang kami tidak ingin terjadi," kata Budi.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi pada Selasa (11/6) lalu menilai diskon tarif ojek online saat ini sudah bukan lagi di jalur pemasaran, namun, predatory pricing.
Diskon tersebut mengubah skema tarif batas atas dan batas bawah ojek online.
Gojek tidak ingin berkomentar lebih jauh karena larangan diskon online ini masih berbentuk rencana, mereka tidak ingin berkomentar sebelum melihat isi atau revisi peraturan tersebut.
"Harapan kami, apa pun keputusannya bisa dipertimbangkan secara holistik dari sisi pendapatan mitra, dari sisi konsumen dan keberlangsungan industri," kata VP Corporate Affairs Gojek, Michael Say.
Head of Public Affairs Grab Indonesia, Tri Sukma Anreianno menyatakan mereka yakin bahwa setiap kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah atas hasil diskusi dan pertimbangan secara matang yang akan memberikan keuntungan bagi semua pihak".
Grab berkomitmen untuk mematuhi peraturan pemerintah yang telah ditetapkan.
Baca juga: Tarif ojek daring, Menhub sebut tidak pernah putuskan sendiri
Baca juga: Komentar Grab dan Gojek soal rencana penghapusan diskon
Baca juga: "Anterin" berikan promo khusus menyambut Asian Games 2018
"Enggak setuju, merugikan penumpang," kata Rizky Fahira, saat dimintai pendapatnya mengenai hal tersebut, Rabu.
Rizky saat ini masih kuliah di tingkat awal, jika tidak membawa kendaraan bermotor pribadi dia akan naik ojek online. Meski pun tidak setiap hari naik ojek online, dia merasa keberatan dengan rencana penghapusan diskon.
"Kebanyakan orang pindah ke ojek online karena ada diskon dan jadi lebih murah," kata dia.
Diskon tarif yang diberikan penyedia jasa pemesanan ojek online menurut dia cukup berarti untuk ongkos jalan sehari-hari, tarif yang dia berikan lebih murah sehingga dia dapat menabung dari sisa ongkos hariannya.
Bernhart Farras, 23, akan berpikir dua kali untuk naik transportasi online jika potongan harga tarif benar-benar dihilangkan karena dia merasa ada kenaikan yang signifikan setelah pemberlakuan tarif baru.
Bernhart semula menggunakan kendaraan pribadi untuk pergi bekerja, namun, saat ini dia setiap hari naik ojek online minimal untuk perjalanan pergi dan pulang ke kantor.
Dia menganggarkan Rp30.000 hingga Rp40.000 per hari untuk naik ojek online. Jika nanti larangan diskon tarif transportasi online berlaku dan dia perlu transportasi online, maka dia memilih menggunakan ojek ketimbang taksi online karena perbedaan tarif yang signifikan setelah tarif batas atas dan batas bawah berlaku.
Keberatan yang sama juga dirasakan Marsya (26) karena diskon ojek online membantu meringankan pengeluarannya sehari-hari.
"Sedih karena sebagai orang yang sering kesana kemari, ongkos transportasi itu esensial sekali," kata dia.
Dalam sehari Marsya bisa menggunakan ojek online hingga empat kali untuk menunjang aktivitasnya.
Jika diskon ojek online dihapus, dia akan mengurangi frekuensi naik ojek dan lebih banyak menggunakan transportasi online lainnya seperti bus dan angkutan kota atau angkot.
Lain lagi pengalaman Lufthi Anggraeni, dia akan tetap menggunakan ojek online meski pun tidak ada diskon karena alasan waktu. Bagi dia, transportasi umum lainnya memakan lebih banyak waktu perjalanan.
Dia berpendapat ada atau tidak ada diskon tidak berpengaruh banyak karena umumnya dia mendapatkan selisih Rp1.000 antara tarif normal dengan tarif diskon.
Sehari-hari, dia mengeluarkan Rp60.000 hingga Rp100.000 untuk ongkos ojek online.
"Jadi buat saya, dihapus atau nggak, tidak terlalu terasa," kata dia.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi meminta tidak ada lagi diskon tarif ojek online karena hanya memberikan keuntungan untuk sementara.
"Diskon ini memang memberikan keuntungan sesaat, untuk jangka panjang itu membunuh. Itu yang kami tidak ingin terjadi," kata Budi.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi pada Selasa (11/6) lalu menilai diskon tarif ojek online saat ini sudah bukan lagi di jalur pemasaran, namun, predatory pricing.
Diskon tersebut mengubah skema tarif batas atas dan batas bawah ojek online.
Gojek tidak ingin berkomentar lebih jauh karena larangan diskon online ini masih berbentuk rencana, mereka tidak ingin berkomentar sebelum melihat isi atau revisi peraturan tersebut.
"Harapan kami, apa pun keputusannya bisa dipertimbangkan secara holistik dari sisi pendapatan mitra, dari sisi konsumen dan keberlangsungan industri," kata VP Corporate Affairs Gojek, Michael Say.
Head of Public Affairs Grab Indonesia, Tri Sukma Anreianno menyatakan mereka yakin bahwa setiap kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah atas hasil diskusi dan pertimbangan secara matang yang akan memberikan keuntungan bagi semua pihak".
Grab berkomitmen untuk mematuhi peraturan pemerintah yang telah ditetapkan.
Baca juga: Tarif ojek daring, Menhub sebut tidak pernah putuskan sendiri
Baca juga: Komentar Grab dan Gojek soal rencana penghapusan diskon
Baca juga: "Anterin" berikan promo khusus menyambut Asian Games 2018
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2019
Tags: