Indonesia perkenalkan metode kerja "Sofa Talk" di DK PBB
11 Juni 2019 16:42 WIB
Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian A. Ruddyard (tengah) pada press briefing di Jakarta, Selasa (11/6/2019). (ANTARA/Yuni Arisandy)
Jakarta (ANTARA) - Indonesia selama menjabat sebagai Presiden Dewan Keamanan (DK) PBB sepanjang Mei 2019 telah memperkenalkan metode kerja baru yang inovatif, yaitu "Sofa Talk", yang dianggap efektif untuk mencari titik temu untuk perbedaan pandangan negara-negara anggota Dewan Keamanan terhadap suatu isu.
"Sofa Talk itu perbincangan informal antara para wakil tetap negara anggota DK di sofa tanpa agenda khusus ataupun meeting record," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian A. Ruddyard pada press briefing di Jakarta, Selasa.
Menurut Febrian, metode kerja "Sofa Talk" itu sangat bermanfaat bagi para perwakilan dari negara anggota Dewan Keamanan untuk dapat mencari jalan tengah bagi berbagai isu, khususnya bagi negara-negara yang memiliki posisi yang berbeda atau berseberangan mengenai isu tertentu.
Dengan metode "Sofa Talk" itu, kata Febrian, perwakilan negara-negara anggota DK PBB dapat melihat posisi masing-masing negara mengenai suatu isu dan berupaya untuk mencari titik temu dalam membahas isu tersebut.
"Sofa Talk ini sangat berguna untuk menengahi isu-isu yang dimana negara-negara mempunyai kepentingan yang berbeda. Ini juga sudah mulai digunakan oleh negara lain sebagai working method," ujar dia.
Dia menilai bahwa metode kerja tersebut akan sangat efektif untuk diterapkan di tengah situasi Dewan Keamanan PBB yang sekarang ini cenderung diwarnai dengan ketidaksatuan (disunity) dan ketidakpercayaan (distrust).
"Metode ini sangat cocok untuk situasi disunity dan distrust di Dewan Keamanan yang semakin kental. Sofa Talk ini dapat digunakan untuk mencari tahu posisi masing-masing negara terhadap suatu isu, untuk kemudian dicarikan titik temunya," ucap Febrian.
Namun, dia menyebutkan bahwa kelemahan dari metode "Sofa Talk" adalah tidak adanya dokumen hasil yang bersifat kuat atau pun mengikat karena pertemuan dengan metode tersebut tentu bersifat informal.
"Risiko dari Sofa Talk adalah tidak akan menghasilkan outcome yang kuat seperti yang diharapkan masyarakat internasional, tetapi paling tidak dapat diupayakan kesatuan atau posisi yang sama untuk isu-isu tertentu," katanya.
"Bila DK PBB tidak bisa mengambil keputusan mengenai suatu isu, setidaknya bisa mencari posisi yang sama," lanjut Febrian.
Indonesia menjabat sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB sepanjang Mei 2019. Pada Januari 2019, Indonesia resmi menduduki jabatan anggota terpilih DK PBB periode 2019-2020.
Baca juga: Peran Indonesia sebagai Presiden DK PBB mendapat apresiasi
Baca juga: Menlu Retno Marsudi laporkan pelaksanaan keketuaan RI di DK PBB
Baca juga: Di DK PBB, Indonesia tegas dukung perlindungan warga sipil
"Sofa Talk itu perbincangan informal antara para wakil tetap negara anggota DK di sofa tanpa agenda khusus ataupun meeting record," kata Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral Kementerian Luar Negeri RI Febrian A. Ruddyard pada press briefing di Jakarta, Selasa.
Menurut Febrian, metode kerja "Sofa Talk" itu sangat bermanfaat bagi para perwakilan dari negara anggota Dewan Keamanan untuk dapat mencari jalan tengah bagi berbagai isu, khususnya bagi negara-negara yang memiliki posisi yang berbeda atau berseberangan mengenai isu tertentu.
Dengan metode "Sofa Talk" itu, kata Febrian, perwakilan negara-negara anggota DK PBB dapat melihat posisi masing-masing negara mengenai suatu isu dan berupaya untuk mencari titik temu dalam membahas isu tersebut.
"Sofa Talk ini sangat berguna untuk menengahi isu-isu yang dimana negara-negara mempunyai kepentingan yang berbeda. Ini juga sudah mulai digunakan oleh negara lain sebagai working method," ujar dia.
Dia menilai bahwa metode kerja tersebut akan sangat efektif untuk diterapkan di tengah situasi Dewan Keamanan PBB yang sekarang ini cenderung diwarnai dengan ketidaksatuan (disunity) dan ketidakpercayaan (distrust).
"Metode ini sangat cocok untuk situasi disunity dan distrust di Dewan Keamanan yang semakin kental. Sofa Talk ini dapat digunakan untuk mencari tahu posisi masing-masing negara terhadap suatu isu, untuk kemudian dicarikan titik temunya," ucap Febrian.
Namun, dia menyebutkan bahwa kelemahan dari metode "Sofa Talk" adalah tidak adanya dokumen hasil yang bersifat kuat atau pun mengikat karena pertemuan dengan metode tersebut tentu bersifat informal.
"Risiko dari Sofa Talk adalah tidak akan menghasilkan outcome yang kuat seperti yang diharapkan masyarakat internasional, tetapi paling tidak dapat diupayakan kesatuan atau posisi yang sama untuk isu-isu tertentu," katanya.
"Bila DK PBB tidak bisa mengambil keputusan mengenai suatu isu, setidaknya bisa mencari posisi yang sama," lanjut Febrian.
Indonesia menjabat sebagai Presiden Dewan Keamanan PBB sepanjang Mei 2019. Pada Januari 2019, Indonesia resmi menduduki jabatan anggota terpilih DK PBB periode 2019-2020.
Baca juga: Peran Indonesia sebagai Presiden DK PBB mendapat apresiasi
Baca juga: Menlu Retno Marsudi laporkan pelaksanaan keketuaan RI di DK PBB
Baca juga: Di DK PBB, Indonesia tegas dukung perlindungan warga sipil
Pewarta: Yuni Arisandy Sinaga
Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019
Tags: