Pembebasan BM Impor Kedelai Diminta Ditinjau Per Tiga Bulan
18 Januari 2008 21:04 WIB
Jakarta (ANTARA News) - Departemen Pertanian meminta agar penerapan bea masuk (BM) impor kedelai sebesar nol persen ditinjau setiap tiga bulan sehingga penerapannya tidak akan merugikan petani dalam negeri.
Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Sutarto Alimuso di Jakarta, Jumat mengatakan, keengganan petani menanam kedelai saat ini disebabkan rendahnya harga komoditas pengan tersebut sehingga dinilai tidak menguntungkan.
Menurut dia, pada tahun 1992 harga kedelai pernah mencapai Rp8.000/kg sehingga petani bergairah mengembangkan komoditas tersebut yang dampaknya produksi nasional mencapai 1,6 juta ton atau naik 300 persen dari tahun 1988 yang hanya 600 ribu ton, seperti produksi saat ini.
"Namun setelah masuknya kedelai impor yang harganya lebih rendah dari kedelai lokal maka produksi dalam negeri tersisih yang akhirnya petani enggan menanam karena harganya rendah," katanya.
Murahnya harga kedelai impor tersebut, khususnya dari AS, menurut Sutarto karena mendapatkan subsidi ekspor dari pemerintah setempat seperti GSM 102 dan 103 serta PL 480.
Dengan subsidi tersebut, maka importir dari negara lain yang mendatangkan kedelai dari AS mendapat kemudahan berupa pembayaran bisa dilakukan setelah dua tahun selain itu tanpa bunga selama enam bulan.
Apalagi, tambahnya, dengan pembebasan BM impor kedelai yang diterapkan saat ini dikuatirkan kembali menurunkan gairah petani untuk menanam kedelai setelah komoditas tersebut memperoleh harga yang baik.
Sutarto mengakui, pihaknya pernah mengusulkan BM impor kedelai sebesar 30 persen yakni secara bertahap untuk tahun ini 10 persen kemudian tahun berikutnya 20 persen.
"Selain itu juga meminta kepada importir untuk lebih memilih membeli kedelai dalam negeri," katanya.
Menurut dia, saat ini bisa saja dilakukan pembebasan BM impor kedelai karena produksi dalam negeri sebesar 600 ribu ton belum bisa mengimbangi tingginya permintaan yang mencapai 2 juta ton namun demikain sebaiknya setiap tiga bulan dilakukan peninjauan.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008
Tags: