Jakarta (ANTARA News) - Ketua Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR), Hidayat Nur Wahid, mengingatkan tidak perlu mengembangkan wacana pencabutan TAP MPR No XI/MPR/1998 berkaitan dengan kasus hukum Soeharto. Saat ditemui di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Kamis, Hidayat mengatakan meski dalam salah satu butir TAP itu diatur tentang proses hukum terhadap Soeharto, putra-putri, serta kroni-kroninya, TAP itu adalah tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). "Jadi, kalau ini dicabut berarti mencabut komitmen reformasi, komitmen pemberantasan korupsi. Yang diperlukan adalah bukan mengembangkan wacana tentang cabut TAP MPR No XI, tetapi yang diperlukan justru pelaksanaannya," tuturnya. Menurut Hidayat, penyelesaian kasus Soeharto adalah dengan cara menyelesaikan proses hukumnya, bukan dengan cara pencabutan TAP MPR. Ia justru mengkhawatirkan wacana pencabutan TAP MPR itu ditunggangi oleh para kroni-kroni Soeharto yang tidak ingin terjerat proses hukum seperti yang diamanatkan oleh TAP MPR NoXI. "Jangan-jangan wacana pencabutan ini ditunggangi oleh kroni-kroninya. Sampai mau meninggal pun Pak Harto masih ditunggangi," ujarnya. Hidayat berpendapat yang dapat menentukan bersalah atau tidaknya Soeharto adalah proses hukum yang harus diselesaikan. Karena itu, ia menilai tidak tepat untuk mewacanakan pemberian maaf kepada Soeharto. "Proses hukum itu harus asas praduga tidak bersalah. Kalau memaafkan, seakan-akan seseorang sudah bersalah," ujarnya. Sementara itu, Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan memilih untuk tidak berkomentar soal kasus gugatan perdata Soeharto. "MA tidak akan mengomentari sesuatu yang masih dalam proses peradilan," ujarnya. Pemerintah, menurut Bagir, sampai saat ini belum meminta konsultasi dari MA soal kasus hukum Soeharto. (*)